Sabtu 05 Feb 2022 17:30 WIB

Ketegangan Lembaga Agama Mesir Vs Ethiopia Sikapi Bendungan Sungai Nil

Ethiopia dan Mesir menhadapi ketegangan terkait pembangunan GERD Sungai Nil

Rep: Fuji E Permana/ Red: Nashih Nashrullah
Pembangunan Bendungan Grand Renaissance (Bendungan Hidase) di wilayah Benishangul-Gumuz barat Ethiopia. (Ilustrasi). Ethiopia dan Mesir menhadapi ketegangan terkait pembangunan GERD Sungai Nil

Namun dia memperingatkan agar tidak mengubah krisis menjadi masalah agama, yang akan merugikan kepentingan Mesir. Buku Al-Azhar menyoroti hak-hak Mesir dari perspektif agama, katanya adalah sesuatu yang normal, asalkan aspek agama tidak menggantikan sisi politik dari masalah ini. 

Keterlibatan agama dalam krisis GERD menyebabkan perdebatan sengit antara ulama Mesir dan Ethiopia pada  Maret tahun lalu, ketika Haji Omar Idris, Kepala Dewan Tertinggi Federal untuk Urusan Islam Ethiopia, mengatakan bahwa orang Ethiopia memiliki lebih banyak hak atas air Nil daripada Sudan dan Mesir. 

Imam Besar Al-Azhar Syekh Ahmad At Thayyib kemudian menanggapi dalam sebuah pernyataan yang disiarkan televisi bahwa sumber daya alam bukanlah milik satu orang. 

"Siapa pun yang menahan air adalah tidak adil dan agresor. Otoritas lokal dan internasional terkait harus mencegah penyimpangan dan korupsi semacam itu di negeri ini," jelasnya. 

Omar, yang dijuluki Mufti di Ethiopia, membentak bahwa Tayeb harus menarik kembali pernyataannya. Dia menambahkan bahwa Syekh Al-Azhar harus memiliki wawasan yang lebih baik tentang masalah Nil, dan pendapat pemerintah Ethiopia dalam hal ini masuk akal. 

Hal ini membuat marah Ali Jumah, mantan Mufti Besar Mesir dan ketua Komite Urusan Agama saat ini di parlemen Mesir yang mengatakan, “Omar, bertakwalah kepada Tuhan. Jangan membalikkan bukti dan menanggapi dengan pernyataan palsu kepada Syekh Al-Azhar.” 

Ammar Ali Hassan, seorang profesor ilmu politik di Universitas Kairo, percaya bahwa krisis air Nil adalah masalah politik, ekonomi dan keamanan, yang membutuhkan solusi politik, jauh dari agama. 

Dia menambahkan bahwa campur tangan lembaga keagamaan Mesir mungkin berakhir menjadi kontraproduktif. “Menerbitkan fatwa atau pernyataan atau penerbitan buku oleh Al-Azhar atau Gereja Mesir akan mendorong lembaga keagamaan dan ulama Ethiopia, baik mereka Kristen atau Muslim, untuk merespons, yang hanya akan semakin memperumit situasi dan membingungkan opini publik,” katanya. 

“Agama dapat berperan jika upaya diplomatik untuk menyelesaikan krisis gagal dan Mesir terpaksa memilih solusi militer. Dalam hal ini, agama bisa berguna bukan dalam menyelesaikan masalah tetapi dalam memobilisasi opini publik seputar keputusan politik untuk intervensi militer,” kata Hassan. 

 

“Selain itu, saya tidak berpikir bahwa buku Al-Azhar tentang hak Mesir di perairan Nil akan mengarah pada solusi dalam perselisihan antara kedua negara," jelasnya.     

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement