REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Berdasarkan hasil penelitian Pusat Litbang Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama (Kemenag), kerukunan umat beragama (KUB) DKI Jakarta sejak tahun 2017 sampai 2021 mengalami penurunan. Meski nilai KUB-nya baik tapi sering berada di bawah nilai rata-rata KUB secara nasional.
Nilai KUB DKI Jakarta pada 2017 adalah 73,93 persen, turun menjadi 70,25 persen pada 2018. Kemudian naik pada 2019 menjadi 71,28 persen, dan turun lagi nilai KUB-nya pada 2021 menjadi 70,28.
Kepala Pusat Litbang Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan Kemenag, Prof Muhammad Adlin Sila, menyampaikan, KUB di DKI Jakarta terpengaruh oleh kondisi di ibukota dan konstelasi politik mempengaruhi sikap atau persepsi masyarakat.
Menurutnya, DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat sejak 2015, 2016 dan puncaknya di 2017, nilai KUB-nya selalu di bawah rata-rata nasional. Meskipun nilai KUB ketiga provinsi ini masih dalam kategori tinggi.
"Kalau saya berikan analisis, itu pengaruh status DKI Jakarta sebagai ibukota dimana konstelasi politik sangat tinggi, tingkat keberagaman masyarakatnya juga sangat tinggi," kata Adlin kepada Republika, Rabu (2/2/2022).
Ia menjelaskan, puncaknya di tahun 2017 ke 2018, KUB DKI Jakarta turun akibat dari pilkada dan pilpres. Persaingan Ahok dan Anies yang membuat persepsi masyarakat terhadap pengalaman kerukunan mereka cenderung menurun.
Ia mengatakan, DKI Jakarta juga adalah pertemuan hampir semua suku dan agama. Sementara, Jawa Barat dan Banten juga terdampak dengan yang terjadi di DKI Jakarta karena lokasinya dekat ibukota.
Adlin menyarankan agar elit politik, tim sukses, partai politik, relawan, dan konstituennya harus lebih elegan dalam berpendapat. Mereka harus lebih elegan lagi dalam menerima hasil dari pilkada.
"Imbas dari politik identitas juga berpengaruh pada terjadinya polarisasi di masyarakat bahkan hingga saat ini. Kalau ini terus menerus terjadi maka akan berdampak kondisi kerukunan umat beragama pada tahun politik 2024 nanti," ujarnya.
Adlin mengatakan, menghargai perbedaan tidak hanya dengan pengetahuan saja yang sifatnya pasif. Toleransi harus dibuktikan dalam bentuk kerja-kerja aktif, termasuk dalam hal menerima hasil dari konstelasi politik.
Menurutnya, apapun latar belakangnya, baik itu agama atau suku, karena di Indonesia agama dan suku sesuatu yang tidak bisa dieliminir. Sebab pasti agama dan suku punya pengaruh. Tapi yang penting bagaimana menerima hasil apapun yang menjadi kesepakatan politik. Sarannya lebih dewasa menerima perbedaan, dalam arti menerima perbedaan secara aktif, bukan pasif.
"Media sosial mungkin ada pengaruhnya tapi saya kira tidak terlalu berdampak, karena yang berkonflik di media sosial biasanya ada setingan, ada buzzer, media sosial di-setting untuk memancing kontroversi, tapi saya kira di realitasnya masyarakat lebih toleransi," jelasnya.
Namun, Adlin menjelaskan, ada beberapa kasus misalnya penyerangan terhadap kelompok minoritas dan pembakaran rumah ibadah. Itu malah terjadi di daerah yang indeks KUB-nya tinggi. Di tiga daerah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten itu nol konflik meski nilai KUB-nya sering di bawah nilai rata-rata nasional.
Di Kalimantan Barat misalnya, terjadi konflik meski KUB-nya di atas rata-rata nasional. Tapi di Banten yang nilai KUB-nya di bawah rata-rata nasional tidak ada penyerangan terhadap kelompok minoritas. Di Jakarta juga tidak ada penyerangan rumah ibadah dan kelompok minoritas. Sebab di Jakarta hampir semuanya pendatang, biasanya (penduduknya) berpikir lebih pragmatis, dan aparat hukum lebih responsif karena ibukota.
"Kalau di Papua (penduduknya) homogen mayoritas, pendatang harus menghargai budaya setempat, kepala suku lebih dihormati dibanding kapolsek," jelasnya.