REPUBLIKA.CO.ID,BOGOR – Konsep Islam Nusantara dinilai bisa menjaga toleransi di tengah maraknya isu radikalisme. Namun, sebagaian masyarakat Indonesia masih banyak yang salah memahami konsep Islam Nusantara.
Konsep ini ditolak sebagian kelompok karena dianggap sebagai agama baru atau aliran baru. Karena itu, istilah ini sempat menjadi pro-kontra di jagat Twitter sekitar pertengahan 2015 silam. Kesalahan dalam memahami Islam Nusantara ini dinilai karena masih banyak orang yang tidak memahami ilmu nahwu.
“Kita ini kadang-kadang karena kita belajar bukan dari pesantren, sehingga tidak tahu ilmu nahwu, mustatir dan mudhmar," ujar Kepala pada Sub Bagian Tata Usaha Kemenag Kota Bogor, Ade Sarmili saat menjadi pembicara dalam acara Workshop Kebangsaan yang digelar Densus 88 Anti Teror Polri di Kota Bogor, Kamis (20/12).
Menurut dia, banyak orang yang ingin menjadi penceramah, tapi terkadang tidak mengetahui dasar-dasar ilmu Nahwu dan Sharraf, sehingga salah memahami sebuah istilah seperti Islam Nusantara.
Karena tidak mengerti ilmu nahwu, akhirnya Islam Nusantara disebut sesat. Padahal, menurut dia, dalam istilah Islam Nusantara itu ada kata "di" yang tersimpan.
"Islam Nusantara, maka orang langsung mengatakan bid’ah dan sesat. Kita tidak pernah tahu di situ ada dhomir yang mustatir (tersembunyi), ada kalimat yang terbuang, kalimatnya adalah Islam di Nusantara. Kata "di"-nya di situ dibuang, itu mustatir, sehingga jadilah Islam Nusantara." jelas Ade.
Islam Nusantara sendiri merupakan istilah yang menemukan momentum popularitasnya setelah PBNU mengangkatnya menjadi tema Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur. Tema itu persisnya berbunyi “Meneguhkan Islam Nusantara sebagai Peradaban Indonesia dan Dunia”.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj mengatakan, Islam Nusantara adalah wujud Islam yang santun, ramah, beradab, dan berbudaya. "Jadi ini bukan mahdzab atau aliran tertentu, tapi khosois atau tipologi. Ciri khas Islam Nusantara adalah Islam yang melebur dengan budaya," kata Kiai Said di Muktamar Jombang pada 2015 silam.