REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Senat Prancis mendukung larangan atlet Muslimah berhijab dalam kompetisi olahraga. Majelis tinggi parlemen Prancis pada Selasa (18/1/2022) menggelar voting dan menyetujui larangan tersebut melalui hasil 160 suara berbanding 143.
Senat Prancis telah memilih melarang simbol agama yang mencolok dalam olahraga, sebuah langkah yang terutama ditujukan untuk wanita Muslim di negara itu. Hal ini setidaknya mendekati upaya melarang wanita Muslim berolahraga dan merupakan kemunduran besar bagi hak asasi manusia di Prancis.
Menurut politikus sayap kanan yang memilih keputusan tersebut, langkah yang menargetkan wanita Muslim di negara itu diambil untuk kepentingan yang disebut netralitas agama. Namun, jarang terjadi, keputusan kontroversial itu justru ditentang oleh pemerintahan Emmanuel Macron yang telah memimpin beberapa tindakan keras terhadap umat Islam dalam beberapa tahun terakhir.
Seorang pembela hak asasi manusia di Prancis, Maria De Cartena, mengatakan keputusan tersebut merupakan bukti Islamofobia dilembagakan. "Langkah ini bertujuan menekan semua bentuk subjektivitas Muslim mengenai keyakinan dan ibadah, budaya dan ekspresi politik," kata De Cartena kepada TRT World, dilansir Jumat (21/1/2022).
De Cartena juga telah menjadi aktivis penting yang bekerja dengan kelompok yang dikenal sebagai Koordinasi Menentang Hukum Separatisme (Coordination Against the Separatism Law), sebuah undang-undang yang diklaim oleh pemerintah Prancis yang ditujukan untuk memerangi ekstremisme. Akan tetapi, para kritikus mengatakan hal itu membatasi kebebasan beragama dan secara tidak adil menargetkan Muslim.
Langkah terbaru oleh Senat Prancis ini mengikuti serangkaian pembatasan dalam beberapa tahun terakhir yang secara sistematis menekan umat Islam. De Cartena mengatakan dalam pemungutan suara melalui keputusan terbaru ini, Senat menunjukkan kebijakan Islamofobia dan perang melawan Islam dan Muslim bersifat permanen dan ada di mana-mana di bidang politik, hukum, dan media.
Awal bulan ini, sebuah penelitian di Prancis menemukan kecenderungan kuat oleh media negara itu memberikan waktu tayang kepada suara-suara sayap kanan dan memperkuat pandangan pinggiran mereka. Sebelumnya, tahun lalu parlemen Prancis melarang perempuan Muslim mengikuti kegiatan perjalanan sekolah anak-anak sembari mengenakan jilbab.
Hal itu dinilai sebagai sebuah simbol yang dianggap ancaman bagi semua hal yang diperjuangkan Republik Prancis ini. De Cartena mengatakan, langkah tersebut didukung oleh Macron pada saat itu dan merupakan bagian dari narasi pemerintah bahwa perjuangan melawan separatisme Muslim adalah perjuangan sehari-hari.
Langkah-langkah terbaru yang dipilih oleh partai sayap kanan Les Republicains mengubah Undang-Undang Anti-Separatisme Macron untuk menyebutkan penggunaan kerudung secara eksplisit. De Cartena khawatir bahwa langkah terbaru untuk melarang perempuan bermain olahraga kecuali mereka mematuhi perintah negara hanya akan meningkatkan pemisahan Muslim dari masyarakat lainnya.
"Tujuannya di sini adalah melarang lebih banyak lagi semua simbol Islam," tambah De Cartena.
Secara lebih luas, kata De Cartena, Islamofobia di Prancis tidak ada hubungannya dengan partai-partai tetapi dengan sistemnya. Menurutnya, Islamofobia hadir di semua lapisan masyarakat, di tingkat pemerintah, polisi, dan peradilan.