Jumat 07 Jan 2022 05:45 WIB

Ini Sosok yang Dipercaya Menyampaikan Tongkat Isyarat Pendirian NU  

KH Raden As'ad Syamsul Arifin tokoh penting dalam pendirian NU

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
 KH Raden As'ad Syamsul Arifin tokoh penting dalam pendirian NU. KH Asad Syamsul Arifin
Foto:

Pada 1908, ayah kandung As'ad tersebut mulai berupaya mendirikan pesantren sendiri. Atas saran para gurunya, sosok yang dijuluki Kiai Syamsul Arifin itu memilih lokasi di Situbondo (Jawa Timur), yang masih berupa hutan belantara. 

Setelah membenahi kawasan itu, berdirilah sebuah pesantren yang bernama Salafiah Syafiiyah. As'ad pun menjadi santri angkatan pertama di lembaga ini. Dia juga belajar di pesantren-pesantren lainnya, semisal Banyuanyar (Pamekasan) yang diasuh KH Itsbat Hasan pada 1785. 

Seperti dikutip dari buku Ensiklopedi Islam, As'ad kemudian hijrah ke Tanah Suci untuk meneruskan belajar ilmu-ilmu agama. Keputusan ini diambil berdasarkan imbauan dari orang tuanya. 

Di Makkah, dia belajar pada Madrasah Shalatiyah, yang di dalamnya banyak para murid dari Jawi (Melayu). Guru-gurunya merupakan alim ulama besar, baik dari Timur Tengah maupun Nusantara. Misalnya, pakar tata bahasa dan sastra Arab Syekh Hasan al-Massaddan Sayid Hasan al-Yamani, serta pakar ilmu tauhid dan fikih Sayid Muhammad Amin al-Qutbi. 

Ada pula Syekh Syarif as-Syinqithi dan Syekh Bakir asal Yogyakarta. Saat berusia 17 tahun, dia pulang kembali ke Tanah Air. 

Na mun, sesampainya di kampung halaman dia terus melanjutkan pendidikan agama. Dia kemudian berguru antara lain kepada KH Mohammad Kholil Bangkalan dan KH Hasyim Asy'ari di Jombang. 

Pada 1924, As'ad diperbolehkan me ngajar pada pesantren yang diasuh ayahnya. Namun, dia tidak sekadar mengajar, melainkan juga menghadirkan inovasi di tataran kurikulum dan administrasi. 

Saat itu, Pondok Pesantren Salafiah Syafiiyah telah memiliki ratusan orang santri. Untuk itu, perlu metode yang lebih efektif dan efisien agar mereka dapat menerima ilmu dengan lebih baik. 

As'ad kemudian menerapkan sistem madrasah, tetapi dengan mempertahan kan cara mengajar yang tradisional. 

Misalnya, santri tetap menjalankan sorogan, yakni cara belajar dengan membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas tiga atau lima orang santri. 

Dengan cara ini, seorang kiai akan membaca dan menerjemahkan beberapa baris bacaan, kemudian para santri mengulangi penjelasan kiai tersebut. 

Selain sorogan, ada lagi sistem wetonan, yakni dengan membentuk kelompok-kelompok yang lebih besar. Satu kelompok dapat terdiri atas 50 orang santri. Mereka hanya mengikuti penjelasan dari seorang kiai, tanpa perlu mengulanginya secara lisan. 

 

Sejak saat itu, KH As'ad dipandang sebagai pembawa kemajuan bagi Pesantren Salafiah Syafiiyah. Pamornya semakin meningkat dengan upayanya mendirikan sema cam perguruan tinggi, Ma'had 'Ali, di kompleks tersebut.  

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement