REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG -- Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat (Jabar), Uu Ruzhanul Ulum, mengatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar akan segera membentuk Dewan Pengawas Pesantren (DPP) atau dapat pula disebut sebagai Majlis Masyayikh.
Menurut Uu yang juga menjabat panglima Santri Jabar, hal itu penting untuk meningkatkan pengawasan terhadap pondok pesantren di Jabar. Sehingga hadir pendidikan pesantren yang bermutu dengan memperhatikan aspek sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana di pondok pesantren.
Terlebih, kata dia, fenomena menyimpang belakangan, termasuk kasus viral kejahatan seksual sempat pula menyeret nama baik pesantren. Meskipun, sebenarnya kejadian buruk itu tidak terjadi di lingkungan pondok pesantren.
Namun, kata dia, aktivitas pendidikan di pondok pesantren pun mau tidak mau perlu pengawasan pula dari unsur pemerintah. Ini pun tak lain demi hadirnya pesantren yang layak santri.
"Jadi, dengan (fenomena) yang sekarang ini, pemerintah provinsi dan saya sudah berkomunikasi dengan Pak Gubernur, Kementerian Agama, dan lainnya. Kami akan segera melakukan langkah-langkah ke depan berpayung pada Perda Pesantren," ujar Uu, Senin (13/12).
Menurut Uu, Dewan Pengawas Pesantren (DPP) ini akan dibentuk berlandaskan Undang- Undang Pesantren Nomor 18 Tahun 2019 serta tentunya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren.
Dengan payung hukum yang ada, kata dia, DPP atau Majlis Masyayikh akan dibentuk untuk menjaga kualitas dan lebih jauh memperkokoh muruah pondok pesantren di Jawa Barat khususnya.
"Sekarang seluruh kelembagaan ada dewan pengawasnya, misalnya, rumah sakit, perbankan, pendidikan semuanya ada dewan pengawas. Kalau masuk ke pesantren memang agak waswas, tetapi dengan tuntutan seperti ini (fenomena) banyak yang mengatasnamakan pesantren, padahal tidak layak mendirikan pesantren. Maka, kami berinisiatif untuk membuat lembaga DPP di Jawa Barat. Jadi, nanti tidak lebih jelas lagi," paparnya.
Uu mengatakan bahwa DPP/Majlis Masyayikh dibentuk tingkat provinsi, kemudian akan dirambatkan lagi ke tingkat kabupaten/kota.
Sementara anggotanya, kata dia, merupakan kolaborasi dengan berbagai elemen. Mulai dari unsur pemerintahan, ormas Islam, MUI, serta pemangku kepentingan di bidang keagamaan maupun keumatan lainnya di Jawa Barat.
"Ini salah satu langkah daru Pemerintah Provinsi Jabar dalam menghadapi (fenomena) sekarang," kata Uu.
Uu berharap, lembaga ini dapat secepatnya terbentuk. Sehingga pada 2022 semua aktivitas terkait pesantren sudah bisa dilaksanakan. "Minggu depan insya Allah halaqah, mengundang kiai, ulama, termasuk Biro Kesra se-kabupaten/kota, dan MUI serta ormas Islam dan Kemenag itu sendiri sebagai kepanjangan pemerintah pusat di bidang keagamaan," kata Uu memaparkan.
Namun, kata Uu, yang terpenting, terbangun komunikasi antara pemerintah dengan pihak pesantren. Sehingga keduanya dapat saling memberi masukan.
Apalagi diketahui di Jawa Barat terdapat tak kurang dari 12 ribu pondok pesantren. Maka DPP atau majlis Masyayikh dibutuhkan agar kenjadi wadah bagi para kiai atau pengrus pondok pesantren guna merumuskan standar kerangka sebagai acuan bagi pesantren-pesantren dalam proses belajar-mengajar.
Pertama, kata dia, kalau seseorang ingin mendirikan pesantren, harus ada rekomendasi dari ormas Islam, termasuk di dalamnya adalah MUI atau kiai setempat, apakah dia itu layak untuk diberikan dorongan dan dukungan untuk membuat pondok pesantren atau bagaimana.
"Termasuk ormas Islam dan kiai mengetes apakah dia bisa ngaji atau dia, bisa baca kitab gundul, tafsir, hadist, nahwu sharaf, balaghah. Jangan sampai dia tidak paham ilmu agama, tidak paham ngaji mendirikan pesantren, atau judulnya pesantren dalamnya bukan pesantren, maka harus ada rekomendasi," katanya.
Tak kalah penting, kata Uu, soal sarana pendukung agar pesantren ramah santri. "Pesantren itu sarana prasarananya, layak tidak untuk santri, layak tidak untuk anak didik," katanya.
Jangan sampai, kata dia, mengatasnamakan pesantren, tapi sarana dan prasarananya tidak layak untuk proses belajar-mengajar. "Secara kepatutan jangan sampai anaknya banyak siswanya, tapi sarananya tidak mendukung, istilahnya layak santri," katanya.