REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kumpulan tulisan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir yang dimuat di rubrik opini dan refleksi Harian Republika diterbitkan dalam buku berjudul 'Agama, Demokrasi, dan Politik Kekerasan'. Buku ini diterbitkan Republika Penerbit bersama Muhammadiyah.
"Saya bersyukur atas terbitnya buku ini dan terima kasih atas inisiatif dan kerelaan kawan-kawan di Republika, untuk menghasilkan buku yang insya Allah akan berseri," tutur dia dalam agenda peluncuran buku tersebut yang digelar secara virtual, Selasa (16/11).
Haedar telah menulis untuk Republika sejak 2000 dan rutin setiap bulan atas permintaan dari Republika. Jika ditotal, maka selama 20 tahun lebih itu ada 240 tulisan Haedar di Republika. Pengiriman tulisan ini pun, kata dia, nyaris jarang absen.
"Di masa pandemi ini juga memaksa untuk sambil menulis sampai saya sering ditegur Bu Nur (istri Haedar) karena melampaui batas yang seharusnya istirahat tetapi saya tidak istirahat," tuturnya.
Di masa mendatang, Haedar ingin menulis tentang Islam secara komperehensif. Dia ingin membuat buku yang tebal tentang Islam. "Nggak tahu isinya, yang penting tebal, (karena ini) cara memaksa diri untuk berpikir," ujarnya.
Bagi Haedar, menulis itu memaksa untuk membaca karena inilah yang membuat orang memiliki daya hidup. Karena itu pula, dia selalu mengajak banyak orang terutama generasi milenial untuk membawa budaya membaca. "Dalam konteks ini, kita harus belajar jernih dalam berpikir agar bisa memberikan sesuatu yang berharga," ucapnya.
Menurut Haedar, buku adalah buah dari pemikiran seseorang sehingga harus berani pula mempertanggungjawabkan pikirannya. Buku juga adalah buah dari pembacaan realitas lalu dituangkan dalam berpikir yang sistematis.
Haedar juga menyadari, membahas tentang agama tentu tidak mudah karena terdapat dimensi yang sakral dan profan. Hubungan keduanya sering kali tipis. Sebab, perilaku orang beragama termasuk dalam berpikir dan bertindak, itu tidak lepas dari pemahaman terhadap sisi yang sakral dan profan.
"Sakral itu sesuatu yang suci, luhur, dan tidak tersentuh karena itu menyangkut wilayah Allah, kitab suci dan risalah Nabi, yang bagi umat beragama absolut benarnya. Tapi ketika masuk yang profan, agama bersentuhan dengan tafsir dan pemikiran manusia yang menganut agama," jelasnya.
Karena itu, Haedar melanjutkan, relasi profan dan sakral itu kemudian menjadi saling silang. "Maka ketika kita menyederhanakan, yang terjadi saling rebut tafsir," tutur dia.
Haedar menyampaikan, agama, demokrasi, dan politik bisa menjadi tidak sederhana. Agama mengajarkan hidup benar, hidup baik, hidup mulia dan hidup yang memiliki nilai dan tujuan yang hakiki. Ini sama halnya dengan politik dan demokrasi yang juga memiliki tujuan mulia.
Namun, ada lalu lintas kepentingan orang-orang sehingga menyebabkan saling berebut. Ketika ada mekanisme pasar yang berjalan, maka pasar itu menjadi pasar bebas. Atau, ketika misalnya pasar itu ditutup, dampaknya tidak ada dinamika dalam hidup.
"Maka, pesan buku ini adalah mari kita belajar tentang agama dan realitas keagamaan, politik dan realitas politik, serta demokrasi dan realitas demokrasi di dalam pandangan yang kaya dan multiperspektif.Dan sekaligus juga memahami realitas secara berlapis lapis supaya kita tidak terjebak pada penyederhanaan persoalan," paparnya.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Irwan Akib, menyampaikan selamat atas terbitnya buku tersebut. Dia mengatakan, buku itu layak dibaca, dicerna dan ditelaah karena di dalamnya berisi permasalahan dan kritik serta solusi.
"Karena itu, untuk para aktivis, ilmuwan, tokoh masyarakat, tokoh bangsa, dan politisi, buku ini akan memberi wawasan dan cakrawala berpikir kita dalam memahami persoalan agama, demokrasi, dan politik kekerasan di negeri ini. Sekaligus juga memberikan jawaban terhadap permasalahan ini," imbuhnya.