REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, meluncurkan buku berjudul Agama, Demokrasi, dan Politik Kekerasan.
Pemimpin Redaksi Republika, Irfan Junaidi menilai, Haedar tidak hanya autentik, tetapi juga memiliki kekhasan.
Dia berpendapat, Haedar merupakan sosok yang elegan dalam menjawab sebuah isu. Ketika menanggapi sesuatu, tidak langsung vulgar menjawabnya, mampu memberikan tanggapan dengan membungkusnya terlebih dulu menggunakan cover-cover yang indah. "Membuat orang-orang yang dikritik juga akan membacanya dengan senang hati," kata Irfan, Selasa (16/11).
Bahkan, lanjut Irfan, ketika ada sekelompok orang yang mengklaim negara hanya untuk sekelompok orang tersebut, mampu dijawab secara elegan. Selain itu, ia melihat, Haedar merupakan sosok tokoh yang sangat apik memposisikan dirinya.
Sebab, terbiasa memposisikan diri tidak terjebak ke kanan atau ke kiri, tidak memandang cuma dari negatif atau positif. Irfan merasa, Haedar selalu memberi perspektif yang lebih luas, membawa kita lebih bijaksana memandang sesuatu.
Irfan menekankan, tulisan-tulisan Haedar senantiasa menawarkan konsep moderasi, jalan tengah, termasuk saat orang masuk jebakan radikalisme dan deradikalisasi. Menurut Irfan, tulisan Haedar selalu kaya, baik secara konten maupun diksi.
"Mudah-mudahan buku ini bisa jadi oase baru, khasanah literasi yang wajib kita nikmati untuk semua, bukan cuma warga Muhammadiyah, karena beliau memang bukan cuma untuk warga Muhammadiyah, tapi untuk semua," ujar Irfan.
Direktur Suara Muhammadiyah, Deni Asy'ari, menuturkan buku ini diterbitkan atas inisiatif Republika Penerbit dan Suara Muhammadiyah. Merupakan kumpulan dari gagasan-gagasan Haedar Nashir, yang sebagian besar sudah dipublikasi Republika.
Deni memberi dua catatan yang menjadi inspirasi dari buku tersebut. Ia merasa, Haedar merupakan tokoh yang otentik dalam gagasan dan bisa kita simak sepanjang perjalanan. Bukan cuma tokoh yang mengisi panggung kosong, simbolik atau heroik.
Selalu merepresentasikan gagasan otentik, inspirasi yang setiap hari selalu melahirkan gagasan. Bahkan, di tengah jadwal padatnya, Haedar masih mampu membuka ruang waktu untuk mengaktualisasikan gagasan dalam bentuk tulisan.
"Jadi cambuk bagi kamu generasi muda yang waktunya longgar tapi selalu berasalan tidak ada waktu," kata Deni.
Haedar, Deni menambahkan, sejak 1998-1999 sudah pula menuliskan persoalan-persoalan konsolidasi demokrasi yang tidak terwujud. Bukan karena masyarakatnya, tapi lebih kepada ketidakmauan pemimpin menjalankan nilai-nilai demokrasi.
Untuk itu, ia berpendapat, buku berjudul Agama, Demokrasi dan Politik Kekerasan sangat penting jadi pedoman berbangsa dan bernegara.
Bahkan, Deni mengungkapkan, buku ini memang merupakan serial pertama, dan akan ada serial-serial berikutnya. "Insya Allah dalam waktu dekat diluncurkan serial kedua dan ketiga buku ini," ujar Deni.