Adam hanya bisa tertegun. Ia merasa, pertanyaan Mas Eko itu hanyalah pancingan agar dirinya mengucapkan pertanyaan yang selama ini menjadi beban di hatinya. Sepertinya, dia akan mendapat jawaban itu dari orang yang baru dikenalnya ini.
Mas Eko kemudian menjelaskan, mengenal Tuhan haruslah dengan akal. Maka dari itu, ketika beragama, seseorang tidak akan mudah goyah. Sebab, dirinya telah yakin tentang kebenaran agamanya. Manusia memiliki akal pikiran. Ustadz itu lalu mencontohkan kisah Nabi Ibrahim AS saat mencari Tuhan.
Baca juga: Tiga Perangai Buruk dan Tiga Sifat Penangkalnya
Riwayat tersebut ada di dalam Alquran. Yakni, ketika ayahanda Nabi Ismail dan Nabi Ishaq itu mula-mula mengira bahwa bintang, bulan, dan matahari adalah Tuhan. Pada akhirnya, rasul Ulul Azmi itu menyadari, semua benda langit itu selalu timbul-tenggelam. Zat Yang menciptakan dan menggerakkan mereka, itulah satu-satunya yang pantas disembah.
“Manusia diciptakan dengan kemampuan berpikir, tetapi akal toh terbatas. Karena itu, manusia memerlukan wahyu untuk menuntunnya kepada kebenaran,” ujar Adam meniru nasihat Mas Eko. Wahyu itu adalah Alquran. Mas Eko mengatakan, Allah SWT menyatakan Diri-Nya adalah Tuhan semesta alam melalui firman- Nya di dalam Alquran.
Baca juga: Brasil Kini Punya Kota yang Jadi Destinasi Wisata Halal
Inilah satu-satunya kitab suci yang dengan tegas menyebutkan Dia sebagai Tuhan. Penyebutan ini sesuai dengan salah satu sifat-Nya, Al- Mutakabbir, 'Dia Yang Memiliki segala ke agungan.'
“Sedangkan di agama lain, dalam kitab mereka masing-masing, tidak ada yang berani mengakui bahwa zat tertentu adalah Tuhan semesta alam,” ucapnya. Adapun tentang bukti kebenaran Alquran, itu dijelaskan dalam kitab suci itu sendiri. Misalnya, surat al Isra ayat 88.
Allah SWT menantang semua makhluk-Nya untuk membuat yang serupa dengan Alquran. Katakanlah, 'Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Alquran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.'
Setelah diskusi itu, Adam bertobat nasuha kepada Allah. Ia kembali merasa, imannya kuat dan teguh. Komitmennya terhadap Islam kian dalam. Tidak lagi terpikir untuk kembali ke agama lama atau menjadi ateis. Saat itu, kedua orang tuanya sudah menganggap dirinya telah dewasa.
Mereka tak lagi mempersoalkan perbedaan keyakinan. Pilihan Adam untuk memeluk Islam tak lagi diganggu-gugat. Adam tetap tinggal bersama orang tuanya. Setiap perayaan hari besar keagamaan, ia selalu datang untuk menghormati mereka.