Kamis 04 Nov 2021 07:14 WIB

Adab Membaca Alquran

Imam An-Nawawi telah menulis sebuah kitab yang khusus mengenai adab-adab Alquran.

Salah satu santri Pondok Pesantren Tahfidz & Enterprenuer Thursina YBM PLN tengah membaca Alquran.
Foto: Wisnu Aji Prasetiyo/RepublikaTV
Salah satu santri Pondok Pesantren Tahfidz & Enterprenuer Thursina YBM PLN tengah membaca Alquran.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh  Ihza Aulia Sururi Tanjung

Alquran merupakan kitab suci umat Islam yang Allah SWT turunkan kepada Rasulullah SAW  lewat perantara Malikat Jibril AS, dan  dengan tujuan mulia. Syeikh Dr  Abdul Wahhab Gazlaan, guru kesayangan Grand Syeikh Al-Azhar saat ini, Dr  Ahmad Tayyib, menegaskan akan dua hal utama turunnya Alquran.

Menurut Beliau dalam kitab Fahmu Judzuril Bayaan,  bahwa tujuan pertama diturunkannya Alquran adalah sebagai “guidebook/user guide” yang kredibel dan sesuai bagi umat manusia untuk mencapai kehidupan yang mulia. Alam semesta dan kehidupan yang ada sampai sekarang adalah ciptaan dan rancangan-Nya. Sang Pencipta pasti sangat paham dengan tata cara dan aturan yang harusnya diterapkan. 

Analogi sederhananya, kalau kita membeli laptop atau ponsel pintar pasti disertakan dengan “guide” dalam kotak. Dan “guide” setiap merek pasti berbeda satu sama lain. Karena hanya si pencipta yang paham dengan ciptaannya. Begitu pula Allah SWT, Sang Pencipta, hanya Dia yang paham dengan manusia dan tidak ada Pencipta selain-Nya.

Tujuan kedua adalah sebagai mukjizat dan dalil/bukti bahwa Nabi Muhammad SAW  adalah utusan Allah SWT. Kandungan Alquran yang hakiki dan jelas, bahkan berisikan hukum-hukum saintifik yang berlaku di alam semesta sepanjang masa, membuktikan bahwa apa yang dikandungnya bukanlah perkataan manusia atau karangan semata. 

Sebab, pada zaman itu belum ada manusia yang mampu meneliti hal-hal ilmiah yang bahkan pada zaman sekarang pun, membutuhkan penelitian yang panjang dengan dukungan teknologi mutakhir. Sementara dalam Kitab tersebut telah tertera penjabaran dari ilmu-ilmu saintifik, seperti teori “Big Bang” yang ditemukan oleh saintis sekitar tahun 1973, “ternyata telah Allah tuliskan 1400 tahun sebelumnya dalam Alquran pada surat Al-Anbiya ayat 30,” demikian jelas Dr Zakir Naik pada salah satu seminarnya. Oleh karenanya, tidak diragukan lagi bahwa Alquran yang diturunkan kurang lebih dua puluh tiga tahun, sebagai bukti kebenaran risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Pemaparan yang telah penulis uraikan tersebut, setidaknya dapat menjelaskan kemuliaan dan keutamaan Alquran. Kedudukannya sebagai pedoman bagi umat manusia khususnya umat Islam, menuntut kita membaca dan mentadaburinya agar dapat mengarahkan kita pada jalan yang benar. 

Alquran bukanlah kitab sembarangan, sehingga kita tidak bisa pula semena-mena memperlakukannya. Syeikh Al-Imam An-Nawawi, pengarang “Hadis Arba’in” yang masyhur itu menulis sebuah buku yang khusus mengenai adab-adab Alquran yang berjudul At-Tibyaan Fi Adaabi Hamalatil Qur’an. 

Dalam buku tersebut, Beliau menukil banyak sekali ayat Alquran  dan hadis shahih yang menyuguhkan lebih dari 60 adab terhadap Alquran.  Akan tapi karena keterbatasan ruang, setidaknya ada enam hal utama yang akan penulis sajikan yakni :

Pertama, ikhlas.  Imam An-Nawawi mengutip penjelasan Syeikh Hudzaifah Al-Mur’ashiy –Rohimahullah --, bahwa Ikhlas adalah sepadannya amal-amal manusia yang terlihat oleh manusia dan  yang tersembunyi. Artinya, kita harus mengidentifikasi apakah bacaan Alquran kita selama ini karena manusia -- saat orang ramai, misalnya di masjid atau kantor -- atau karena Allah SWT  -- walau keadaan sepi tetap membacanya.

Beliau juga menyandingkan hal ini dengan keharusan kita membersihkan hati dari tujuan duniawi dan material yang bersifat temporer (QS As-Syuura: 20, Al-Isra:  18).

Kedua, membaca Alquran dalam keadaan suci/berwudhu.  Membacanya dalam keadaan hadas kecil atau tidak berwudhu bukanlah sebuah keburukan. Imam Al-Harmain Al-Juwaini mengatakan,  “bukanlah orang tersebut mengerjakan sesuatu yang makruh, tetapi dia telah meninggalkan sesuatu yang afdal/sangat utama”. Akan tetapi Imam An-Nawawi menambahkan bila berhadas besar seperti junub atau haid maka hanya boleh membacanya tanpa melafadzkannya.

Ketiga, membaca Alquran di tempat khusus dan bersih. Imam An-Nawawi mengatakan, “Para ulama bersepakat bahwa membaca Alquran di masjid merupakan sunnah, karena masjid adalah tempat yang bersih dan mulia, serta kita dapat mencapai keutamaan/pahala lainnya dengan beri’tikaf”.  Layaknya bulan Ramadhan, manusia berbondong datang ke masjid untuk beri’tikaf sambil berlomba-lomba mengkhantamkan Alquran.

Keempat, membaca Alquran sambil menghadap kiblat. Rasulullah SAW  bersabda,  “Sebaik-baiknya majelis adalah yang menghadap kiblat.” (HR  At-Thabrani). Sejatinya, bukan hanya membaca Alquran yang disunnahkan, tapi belajar dan kegiatan kegiatan positif lainnya pun akan lebih elok jika menghadap ke Ka’bah Baitullah. KH  Muhammad Nasir Zein MA,  guru penulis saat di pondok dulu, menceritakan bahwa semua gedung-gedung pondok telah didesain untuk menghadap kiblat agar mendapat keutamaan seperti yang Rasulullah SAW janjikan.

Kelima, membaca Alquran dengan tartil.  Syeikh Ali Jumah, ulama Al-Azhar terkemuka mengatakan,  “Tartil adalah memperhatikan pengucapan huruf-huruf dengan kaidah tajwid.” Karenanya Ulama bersepakat atas sunnahnya membaca secara “tartil” (QS Al-Muzammil: 4). Sebagian Ulama pun menyunahkan membaca tartil supaya kita dapat mentadabburi/merenungi Kalam Ilahi tersebut.

Teringat cerita Ayahanda penulis, bahwa almh nenek di kampung dahulu membaca Alquran dengan tartil, sampai tak disangka air mata telah mengalir membasahi pipi, padahal artinya saja tidak paham. Malu rasanya kita yang sekarang sudah mudah membaca terjemahan Alquran tapi masih sulit untuk merenunginya, apalagi meneteskan air mata disaat membacanya.

Keenam, memperbagus bacaan Alquran. Memperindah lantunan Alquran dengan lagam-lagam (jenis lagu/nada) merupakan sunnah Rasulullah SAW.  “Hiasilah Alquran dengan suara kalian.” (HR Abu Dawud). Dengan memperbagus nada dan irama bacaan, orang lain pun akan senang dan ingin selalu mendengarkannya.

Akhirnya, manakala muncul  pertanyaan “mengapa Alquran memiliki banyak rangkaian tata cara membacanya dan rentetan etika-etika yang harus diindahkan?”,  maka, berbagai ayat dan hadis atau pendapat ulama yang telah disajikan, dapat diserap sebagai jawabannya. Lebih-lebih Imam An-Nawawi telah menulis sebuah buku khusus tentang adab terhadap Alquran. Semuanya telah  menggambarkan betapa agungnya kedudukan Alquran dan sakralnya bagi kehidupan manusia.

Alquran sebagai pedoman yang suci. Jika mengalir di atas saluran atau permukaan yang kotor, maka akan tercemari dan hilang kemanfaatannya. Itulah perumpamaan membaca Alquran tanpa memerhatikan adabnya. Kendati kita banyak membacanya tapi mengabaikan adab-adabnya, niscaya tidak akan berdampak apapun karena telah hilang keberkahannya.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement