Selasa 26 Oct 2021 16:25 WIB

Kontekstualisasi Islam pada Kebijakan Publik Sektor Keuangan

Ekonomi Islam didasarkan pada keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Kontekstualisasi Islam Pada Kebijakan Publik Sektor Keuangan. Foto:   Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati meresmikan peluncuran e-meterai pada Jumat (1/10) di Kantor Pusat DJP, Jakarta
Foto: Peruri
Kontekstualisasi Islam Pada Kebijakan Publik Sektor Keuangan. Foto: Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati meresmikan peluncuran e-meterai pada Jumat (1/10) di Kantor Pusat DJP, Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, menyampaikan materi tentang kontekstualisasi Islam pada kebijakan publik sektor keuangan di Indonesia. Materi tersebut disampaikannya saat menjadi narasumber di Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-20 tahun 2021 yang digelar secara daring pada Selasa (26/10).

Menkeu mengatakan, kebijakan fiskal adalah keuangan negara yang sangat penting untuk tujuan negara. Tujuan negara yaitu pemerataan, kemakmuran, dan keadilan.

Baca Juga

"Fiskal dalam hal ini keuangan negara atau APBN memiliki tiga implikasi atau instrumen yang sangat penting untuk alokasi, distribusi, dan stabilisasi," kata Menkeu saat berbicara di forum AICIS yang diinisiasi Kementerian Agama (Kemenag), Selasa (26/10).

Menkeu menerangkan, alat fiskal digunakan untuk membuat alokasi, bagaimana supaya mengalokasikan sumber daya dengan cara yang paling efisien. Juga digunakan untuk mempengaruhi distribusi, dalam konteks ini tidak hanya pendapatan tapi juga kekayan dan kesempatan. Selanjutnya alat fiskal digunakan untuk menjaga stabilitas perekonomian atau negara.

Menurutnya, ini semua bisa direfleksikan atau diproyeksikannya dalam konsep ekonomi Islam. Ekonomi Islam didasarkan pada keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan. Tiga pilar ini untuk meraih tujuan yang sama dengan penggunaan alat fiskal.

"Tentunya ini dalam konteks masyarakat, habluminannas (hubungan manusia dengan manusia) harus dilandasi ukhuwah (persaudaraan) dan terikat dengan akhlak dan akidah ini sesuai prinsip Islam," ujarnya.

Menkeu menjelaskan bagaimana mengkontekstualisasikan Islam dalam kebijakan publik. Islam dalam hal ini berusaha untuk mencapai kehidupan yang baik hari ini dan juga kehidupan setelah kematian. Artinya berusaha mencapai kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.

Ia mengatakan, Islam orientasinya tidak hanya jangka pendek, tapi orientasi mereka untuk mencapai tujuan dalam dua kehidupan mereka yakni di dunia dan akhirat. Islam juga percaya dan sadar sepenuhnya terhadap kehidupan setelah kematian.

"(Dalam Islam) keputusan, cara berpikir, cara bertindak tidak akan hanya berorientasi untuk hari ini, kejayaan hari ini, kemakmuran hari ini, prestasi hari ini, kamu (umat Islam) akan sangat hati-hati, pada waktu yang sama kamu investasikan aktivitas ibadah kamu untuk akhirat," jelasnya.

Menkeu menerangkan, prinsip maqashid syariah membangun kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat. Memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, mempermudah hidup manusia, dan memanfaatkan barang dan jasa dengan cara lebih baik. Dalam istilah lain disebut dharuriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat.

"Jadi pada dasarnya bagaimana kita akan menggunakan instrumen kebijakan agar kita dapat menciptakan, pertama kebutuhan dasar yang lebih adil, kedua semua orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan kebutuhan dasar, dan ketiga membuat mereka memiliki kemampuan untuk hidup secara penuh dengan memfasilitasi mereka untuk berpartisipasi, berkegiatan yang produktif dan bermartabat," jelasnya.

Menkeu mengatakan, kebijakan seperti itu harus dilakukan dengan alokasi yang kebaikan dan pelayanan yang lebih baik. Ini prinsip pemerintahan yang baik untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement