REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muhammad muda juga manusia biasa, punya rasa ingin bergembira dalam sebuah pesta. Namun, bergembira yang akhirnya dapat banyak menimbulkan durja (muuka masam, malu) itu tak pernah dialaminya. Ini karena Allah SWT telah menjaganya dari perbuatan durhaka dan kelak Muhammad muda ini akan menjadi pemimpin dunia akhirat sebagai Nabi terakhir.
Husen Heikal mengatakan, ketika itu Muhammad muda sedang menggembala kambing dengan seorang kawannya. Pada suatu hari hatinya berkata, bahwa ia ingin bermain-main seperti pemuda-pemuda
lain.
"Hal ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu senja, bahwa ia ingin turun ke Makkah, bermain-main seperti para pemuda di gelap malam, dan dimintanya kawannya menjagakan kambing ternaknya itu," katanya.
Tetapi sesampainya divujung Makkah, perhatiannya tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat itu. Tetapi tiba-tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya datang lagi ia ke Makkah, dengan maksud yang sama. Terdengar olehnya irama musik yang indah, seolah turun dari langit.
" Ia duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi," katanya.
Jadi apakah gerangan pengaruh segala daya penarik Makkah itu terhadap kalbu dan jiwa yang begitu padat oleh pikiran dan renungan? Gerangan apa pula artinya segala daya penarik yang kita gambarkan itu yang juga tidak disenangi oleh mereka yang martabatnya jauh di bawah Muhammad?
"Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat terasa benar nikmatnya, ialah bila ia sedang berpikir atau merenung," katanya.
Dan kehidupan berpikir dan merenung serta kesenangan bekerja sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara hidup yang membawa kekayaan berlimpah-limpah baginya. Dan memang tidak pernah Muhammad mempedulikan hal itu.
"Dalam hidupnya ia memang menjauhkan diri dari segala pengaruh materi," katanya.