REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Seyogianya tentang apa dan cara makan orang Muslim mengacu pada tuntunan Rasulullah SAW. Tuntunan dalam hal makan yang diberikan Nabi selain menyehatkan, juga merupakan bagian dari akhlak yang baik.
Agus Rahmadi Dkk dalam buku "Hikmah Puasa Perspektif Hadis dan Medis" menjelaskan sejumlah perbedaan mencolok antara makannya orang mukmin dengan orang kafir. Dalam Islam, salah satu cara mengatur pola makan adalah dengan berpuasa.
Hal ini sebagaimana hadis Nabi, “Shumu tashihu” Yang artinya, “Berpuasalah karena itu menyehatkan.” Dalam hadits lain, Nabi juga bersabda:
لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الصَّوْمُ “Likulli syai’in zakaatan, wa zakatul-jasadi as-shaumu.” Artinya: "Segala sesuatu mempunyai zakatnya, dan zakat jasad adalah puasa."
Nabi Muhammad SAW menjelaskan perbedaan orang Mukmin dengan kafir dalam proporsionalitasnya mengkonsumsi makanan untuk kebutuhan hidupnya.
Abu Hurairah pernah menceritakan tentang orang kafir yang makan sangat banyak melebihi porsinya. Setelah masuk Islam, orang itu justru makan sedikit sekali. Lalu hal tersebut pun disampaikan kepada Rasulullah. Rasulullah SAW bersabda:
المؤمن يأكل في معي واحد، والكافر يأكل في سبعة أمعاء “Innal-mukmina ya’kulu fi mi’an waahidin, wal-kaafira ya’kulu fi sab’ati am’aa’in.”
Yang artinya, “Orang beriman makan dalam satu usus, sedangkan orang kafir makan dalam tujuh usus.”
Menurut para ulama hadis, perkataan Rasulullah SAW tersebut merupakan kiasan bahwa sifat orang Mukmin itu tidak rakus dalam makan. Sebaliknya, sifat orang kafir itu rakus dan memakan apa pun melebihi porsinya.