Selasa 12 Oct 2021 17:35 WIB

Yerusalem: Dari Situs Agama Hingga Ibu Kota

Yerusalem telah dihuni manusia sejak Zaman Perunggu Awal.

Yerusalem: Dari Situs Agama Hingga Ibu Kota. Dalam foto file 11 Februari 2020 ini, Presiden Palestina Mahmoud Abbas memegang peta saat dia berbicara selama pertemuan Dewan Keamanan di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam tiga dekade upaya perdamaian yang gagal, harapan Palestina untuk negara merdeka di wilayah yang direbut Israel dalam perang 1967 tidak pernah tampak begitu suram. Tetapi tidak ada indikasi kepemimpinan mereka yang menua akan mengubah arah. Abbas tetap berkomitmen pada strategi yang sama yang telah dia lakukan selama beberapa dekade - mencari dukungan internasional untuk menekan Israel agar menyetujui sebuah negara Palestina di Tepi Barat, Gaza dan Yerusalem Timur.
Foto:

Setelah sempat lepas dari penguasa Muslim saat Perang Salib, Yerusalem berhasil diambil alih oleh Salahuddin al-Ayyubi. Ia memperbolehkan orang Yahudi untuk berkunjung ke Tembok Ratapan yang juga merupakan dinding barat Masjid Al-Aqsa. Namun, sebagaimana dikatakan seorang pengamat Timur Tengah, sikap toleran seperti ini kemudian ditafsirkan oleh sejumlah orang Yahudi sebagai hak mutlak untuk menguasai kompleks situs suci itu.

Yerusalem berada di bawah pengelolaan para penguasa Muslim selama berabad-abad, mulai dari masa Abbasiyah hingga Turki Usmani di awal abad ke-20. Sesudah itu, Yerusalem sempat berada di bawah mandat Inggris. Dua kali perang di abad ke20, Perang Arab-Israel tahun 1948 dan Perang Enam Hari tahun 1967, mengubah peta politik Yerusalem bahkan hingga kini, dengan Israel perlahan-lahan menguasai satu per satu bagian Yerusalem.

Alih-alih memulihkan hak-hak bangsa Palestina, Amerika Serikat sebagai sekutu terdekat Israel justru menjustifikasi pencaplokan wilayah Palestina yang telah berlangsung selama tiga perempat abad terakhir. Bila di masa silam upaya mengklaim tanah Palestina dilakukan dengan landasan agama, kini Israel membawa alasan administratif untuk kian mengukuhkan eksistensinya.

Kota, apalagi ibu kota, bukan hanya tempat tinggal bagi warga, melainkan sebuah ruang strategis yang bisa dipakai untuk membangun kesadaran politik tertentu. Ini dilakukan dengan mempromosikan ideologi penguasa ibu kota itu melalui berbagai proyek kota, contohnya pembangunan bangunan dan monumen serta penamaan jalan.

Di sisi lain, penguasa baru di ibu kota juga akan berusaha menghapus memori tentang kelompok masyarakat lain yang menjadi musuhnya. Maka, bila Yerusalem diakui dan diterima sebagai ibu kota Israel, ada satu hal yang tampak jelas di depan mata: de-Palestinaisasi Yerusalem.

Sumber: Majalah SM Edisi 1 Tahun 2018

Link artikel asli

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement