REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie, Founder Ekselensia Tahfizh School, Direktur Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa
Pernahkah kita mengalami situasi yang sangat sulit, menekan, mencekam, dan seolah-olah tidak ada lagi jalan keluar? Depan dan belakang, kanan dan kiri mentok. Kita seperti terjebak dan tidak bisa berlari ke mana-mana. Terjepit. Bahkan, disaat itu orang-orang di sekitar kita malah semakin menjatuhkan mentalitas kita.
Dalam situasi seperti itu, masihkah kita punya harapan? Masihkah kita memiliki optimisme? Saat nalar tidak bisa lagi berpikir, apa yang menjadi tumpuan harapan? Itulah iman dalam hati yang mestinya tetap menyala-nyala. Lalu, menerangi jiwa dan pikiran, menyalakan keyakinan dan membuncahkan harapan.
Iman kepada Allah, inilah yang akan terus menguatkan diri kita saat dalam kondisi sesulit, seterjepit, dan semencekam apapun. Iman ini yang akan menyalakan keyakinan total akan pertolongan Allah. Keyakinan bahwa Allah senantiasa membersamai kita. Dia tidak pernah meninggalkan hamba-Nya sendiri dalam kesulitan selama kita bergantung total kepada-Nya.
Inilah ibrah (pelajaran berharga) dari perjalanan Nabi Musa ‘alaihissalam bersama kaumnya ketika meninggalkan Mesir menuju negeri Kan’an. Kisah ini diabadikan dalam surat Asy-Syu’ara ayat 61-67 sebagai pelajaran dan inspirasi bagi kita.
Ketika itu, Nabi Musa menemui jalan buntu. Di depannya terbentang laut Merah. Mentok. Tidak mungkin dia mengajak kaumnya berenang mengarungi laut Merah. Sementara, di belakangnya Fir’aun dan bala tentaranya semakin dekat dan bersiap membinasakannya. Tidak mungkin mundur, karena itu sama dengan menyerahkan diri untuk dihukum mati Fir’aun. Bahkan, pada saat genting seperti itu, mentalitas kaumnya benar-benar runtuh.
“Kita benar-benar akan tersusul dan tertangkap. Fir’aun akan menghukum mati kita semua,” umpatan Bani Israil dalam kepanikan. Mereka seperti menyalahkan Nabi Musa atas pelarian mereka.
Menghadapi situasi terjepit dan mencekam seperti itu, jawaban Nabi Musa kepada kaumnya mencerminkan keimanannya yang kokoh kepada Allah.
“Sekali-kali tidak akan (kalla) tersusul. Sesungguhnya Tuhanku bersamaku. Dia akan memberikan petunjuk kepadaku,” bantah Nabi Musa.
Penggunaan lafadz “kalla” yang bermakna “sekali-kali tidak akan” menunjukkan betapa kokohnya iman Nabi Musa kepada Allah. Betapa kuatnya keyakinan Nabi Musa akan hadirnya pertolongan Allah saat situasi terjepit dan mencekam sekalipun. Sehingga, Nabi Musa membantah kekhawatiran kaumnya dengan mengatakan, “Sekali-kali tidak akan tersusul.”
Apa yang terjadi? Pertolongan Allah datang diluar nalar manusia. Allah perintahkan Nabi Musa memukulkan tongkatnya ke laut Merah. Seketika lautan itu terbelah dan terbentang dua belas jalan. Nabi Musa dan Bani Israil melalui jalan-jalan tersebut. Fir’aun dan pasukannya segera mengejar dan memasuki jalan-jalan tersebut. Namun, ketika Fir’aun dan pasukannya sampai di tengah lautan, seketika laut Merah kembali bersatu. Tak ayal lagi, Fir’aun dan pasukannya tenggelam.
Sungguh, kisah perjalanan Nabi Musa di atas merupakan tanda dan bukti betapa Allah Mahakuasa menolong hamba-Nya dalam situasi sesulit dan seterjepit apapun. Maka, pada ayat enam puluh tujuh, Alquran menegaskan, “Sungguh, pada yang demikian itu terdapat suatu tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman.”
Karena itu, ketika kita mengalami situasi tersulit dan terjepit, milikilah keyakinan yang kokoh kepada Allah sebagaimana keyakinan Nabi Musa ‘alaihissalam. Maka, jangan pernah merasa sendiri dalam kesulitan. Ada Allah yang senantiasa membersamai kita. Memohonlah pertolongan kepada-Nya dengan penuh ketundukkan dan kepasrahan. Dan, pantaskanlah diri kita untuk ditolong oleh Allah. Wallaahu a’lam…