REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM—Polisi Israel melarang warga Palestina mengunjungi Masjid Al-Aqsa. Sumber-sumber lokal mengatakan bahwa polisi Israel menghentikan bus yang membawa jamaah dari kota Umm Al-Fahm Palestina yang tengah dalam perjalanan menuju Masjid Al-Aqsa.
Bukan hanya tidak diizinkan melintas, seluruh penumpang bus juga digeledah oleh polisi. Seorang warga yang berhasil masuk Yarusalem mengatakan bahwa polisi menutup salah satu gerbang masuk Masjid Al-Aqsa, dikenal sebagai Bab Al-Silsala.
Sementara itu dua pemuda, Mohammed Taher Jabarin dari Umm Al-Fahm dan Muhammad Steiti dari Acre, dilaporkan ditangkap saat dalam perjalanan ke tempat suci. Penangkapan itu terjadi setelah terjadinya demo dan pengibaran bendera Israel oleh pemukim Israel di Masjid Al-Aqsa pada Senin (27/9).
Aksi ini menuai kecaman dan kemarahan warga Palestina dan Gerakan Islam terkait karena dianggap sebagai tindakan terlarang. Mereka yang mengibarkan bendera Israel selama liburan Sukkot, hari raya Yahudi, ditahan sebentar oleh polisi dan dikawal keluar dari tempat suci untuk mencegah eskalasi lebih lanjut.
"Apa yang terjadi dalam hal penganiayaan terhadap Masjid Al-Aqsa yang diberkati adalah tindakan agresi yang belum pernah terjadi sebelumnya, terutama mengibarkan bendera Israel, meniup terompet, dan melakukan sholat Talmud di halaman Al -Aqsha dengan dalih beberapa hari libur berturut-turut,” kata Dewan Islam Tertinggi di Yerusalem yang dikutip Republika di Al Araby, Rabu (29/9).
Gerakan Raam Islam, sebuah organisasi yang diilhami oleh Ikhwanul Muslimin, mendesak sayap kanan Israel untuk menahan diri dari memprovokasi konflik. “Sayap kanan rasis baru-baru ini mencoba mengeksploitasi Masjid al-Aqsa untuk tujuan politiknya. Pelanggaran ini telah menyebabkan konflik di masa lalu dan dapat menyebabkan konflik jika fenomena itu berlanjut,” gerakan itu memperingatkan.
"Kami telah mengatakan ini sebelumnya dan kami akan mengatakannya lagi, Al-Aqsa adalah garis merah, dan bagi kami, itu adalah tempat suci paling suci di negara ini," kata pernyataan Gerakan Islam itu, menambahkan bahwa mereka tidak akan membiarkan pelanggaran kesuciannya atau perubahan status quo.
Warga Palestina Israel merupakan 20 persen dari populasi Israel dan menghadapi diskriminasi sistematis. Mereka mengeluh diperlakukan sebagai warga negara kelas dua dibandingkan dengan rekan-rekan Yahudi mereka. Segmen besar publik Israel melihat warga Palestina sebagai ancaman demografis terhadap identitas Yahudi Israel, dengan diskriminasi yang mengakar di perumahan, layanan publik, pendidikan, dan pekerjaan.
Warga Palestina Israel sering berselisih dengan polisi Israel – sebuah institusi yang mereka yakini mengambil peran pasif dalam menghentikan epidemi kekerasan senjata di dalam komunitas mereka.
Sumber:
https://english.alaraby.co.uk/news/israeli-police-prevent-palestinians-praying-al-aqsa