REPUBLIKA.CO.ID, RABAT – Maroko telah mengadakan pemilihan umum, dengan hasil partai politik berkuasa harus kehilangan besar.
Pada Rabu (8/9) hasil pungutan suara membuktikan bahwa partai Justice and Development Party (PJD) telah kehilangan suaranya.
Dengan membandingkan tingkat partisipasi dalam Pemilu 2016, ketika Islamis memenangkan 125 kursi di parlemen kini dalam pemilu terakhir mereka hanya memenangkan 12 kursi saja, sebagaimana dilansir di eurasiareview.com.
Ini merupakan pukulan besar bagi partai yang telah berkuasa sejak Arab Spring berakhir 2011 lalu. Hal ini diduga karena ketidakpercayaan masyarakat dengan partai ini telah menurun tajam.
Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut, setidaknya yang paling jelas adalah perekonomian Maroko yang menurun drastis meski sebenarnya tidak terlepas dari pandemi Covid-19.
Namun pemerintah dinilai gagal untuk menarik kondisi negara kembali dalam keadaan semula.
Beberapa masalah yang terjadi di antaranya, pemilih partai menjadi kecewa dengan PJD karena mereka gagal memenuhi kebijakan. Di negara berpenduduk 35 juta dengan pasar tenaga kerja sekitar 10,8 juta menurut angka resmi, ada 1,42 juta orang yang menganggur dengan pengangguran yang didominasi kaum muda yaitu mereka yang berusia antara 15 dan 24 tahun mencapai sekitar 30 persen.
Pemerintah merasa sulit untuk menangani masalah ini meskipun faktanya itu mungkin bukan kesalahan langsung mereka karena timbulnya pandemi pada tahun 2020 hingga tahun 2021. Ini berarti bahwa situasi ekonomi sebanyak 40 persen yang berbasis pedesaan menyusut 7,1 persen dengan tingkat kemiskinan yang meroket.
Diduga faktor-faktor ini menyebabkan orang pindah dari parpol Islamis. Partai-partai lain yang menjanjikan kebijakan penciptaan lapangan kerja hingga satu juta lapangan kerja tentu akan mempengaruhi pemilih yang mungkin mengatakan “mari kita coba partai lain kali ini” dan lihat apa yang terjadi.
Tiga keputusan kebijakan lainnya mungkin juga telah meyakinkan pemilih untuk menjauh dari partai Islam menurut penganalisis yang berbeda di antaranya pengajaran mata pelajaran ilmiah dalam bahasa Prancis daripada bahasa Arab, legalisasi ganja untuk medis, dan akhirnya normalisasi hubungan antara Israel dan Maroko.
Ketiga isu tersebut merupakan tantangan yang mematahkan keyakinan pendukung yang dibuktikan dengan fakta bahwa PJD berada di urutan terakhir di antara delapan partai peserta pemilu yang berarti pemilih berpindah dalam jumlah besar. Hal ini didukung oleh fakta bahwa pemilih Maroko mendaftarkan perolehan suara 50 persen daripada dalam Pemilu 2016 yang hanya 43 persen.
Banyak yang mengatakan fakta bahwa pemimpin PJD Saad Aldin Al Othmani, yang merupakan Perdana Menteri menandatangani perjanjian Maroko-Israel pada akhir 2020, membuat banyak pendukungnya pergi dan kehilangan dia dan mungkin tidak akan pernah memerintah lagi dalam waktu dekat. Meski mereka beralasan mereka ditekan untuk menandatangani.
Hal itu tidak dapat diterima para pemilih karena melihat langkah seperti itu sebagai pengkhianatan terhadap Palestina dan perjuangan Arab. Fakta bahwa Rabat mendapat pengakuan Amerika Serikat atas kedaulatan Maroko atas Sahara Barat yang disengketakan juga tidak dapat diterima.
Sumber: eurasiareview