REPUBLIKA.CO.ID,JOHANNESBURG – Dua dekade telah berlalu sejak terjadinya serangan teroris 9/11 di World Trade Center, Amerika Serikat (AS). Seorang akademisi terkemuka, Na’eem Jeenah mengatakan, hak-hak Muslim Afrika diinjak-injak setelah peristiwa tersebut, khususnya setelah Presiden AS, George W Bush mendeklarasikan Perang Global Melawan Terorisme.
“'Perang Global Melawan Teror' Bush memiliki konsekuensi yang mengerikan bagi Muslim Afrika dan Afrika pada umumnya,” ujar Jeenah dilansir Anadolu Agency, Ahad (12/9).
Na’eem Jeenah merupakan Direktur eksekutif Afro-Middle East Centre, sebuah lembaga penelitian yang berbasis di Johannesburg yang didedikasikan untuk mempelajari Timur Tengah dan Afrika Utara. Dia mengatakan, Muslim Afrika telah mengalami jenis Islamofobia yang sama seperti yang terlihat di negara-negara Barat, yang mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia.
Menurut Jeenah, AS menggunakan perang melawan teror untuk memberikan tekanan besar pada pemerintah Afrika agar memperkat protokol keamanannya, berbagi intelijen dan memperkuat atau mengembangkan hubungan militer.
Jeenah mencontohkan Komando AS-Afrika yang katanya dibentuk setelah “perang global melawan teror.” “Sekarang beroperasi di sebagian besar negara di benua itu, dengan sedikit memperhatikan kedaulatan negara-negara Afrika,” ucapnya.
Dia mengeklaim Komando Afrika-Amerika Serikat (AFRICOM), dan badan intelijen AS juga membantu pemerintah di negara-negara Afrika melawan oposisi politik.
“Memperkuat badan-badan militer dan intelijen AS di benua itu juga memiliki tujuan lain dari perspektif AS, seperti menentang jangkauan China ke benua itu,” katanya.
Pembunuhan di luar proses hukum
Para aktivis hak asasi manusia di benua itu menuduh petugas keamanan telah salah menangkap seseorang atas tuduhan terorisme yang direkayasa, bahkan membunuh atau menahan mereka di lokasi yang tidak diketahui.
Dalam laporan tahun 2016, organisasi hak asasi, Haki Afrika mengatakan polisi anti-teror Kenya dilaporkan melakukan setidaknya 81 pembunuhan di luar proses hukum di wilayah pesisir negara yang berpenduduk mayoritas Muslim itu sejak 2012.
Organisasi itu mengeklaim jumlahnya bisa lebih tinggi tetapi beberapa keluarga tidak melapor karena takut menjadi korban. Laporan itu juga mengatakan, sebagian besar dari mereka yang terbunuh adalah pemuda yang dituduh sebagai teroris.
Otoritas Pengawasan Independen Pemolisian Kenya (IPOA) mengatakan pada saat itu bahwa 52 petugas polisi telah didakwa dan ratusan lainnya sedang diperiksa karena pelanggaran hak asasi manusia.
Kelompok militan Somalia, al-Shabaab, dalam beberapa kesempatan, melakukan serangan teror di Kenya, menewaskan puluhan orang sebagai pembalasan atas penempatan Kenya sebagai pasukan penjaga perdamaian Uni Afrika di Somalia. Sebagai imbalannya, petugas keamanan Kenya telah memburu tersangka yang diduga terkait dengan kelompok tersebut, terkadang menangkap orang yang tidak bersalah.
Seorang peneliti senior di Africa Desk dari think tank Media Review Network yang berbasis di Johannesburg, dr. Mustafa Mheta setuju bahwa umat Islam di benua itu telah merasakan efek dari serangan 9/11.
“Dampak serangan 9/11 tidak hanya mempengaruhi Muslim yang tinggal di AS, Eropa atau mereka yang berada di negara-negara Islam, tetapi bahkan kita di sini di Afrika,” katanya dari kantornya di Johannesburg.
Dia mengatakan setelah serangan 9/11, media Barat mulai menyebarkan kebencian terhadap Islam dengan melabelinya sebagai musuh sehingga tumbuhnya Islamofobia.
“Mereka mencoba membuat Islam seolah-olah identik dengan terorisme, sebuah perkembangan yang tidak benar,” kata Mheta.
“Sekarang umat Islam harus menghilangkan mitos ini melalui platform apa pun yang mereka miliki,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, setelah serangan 9/11 umat Islam Afrika juga sulit mendapatkan visa ketika akan bepergian ke negara-negara barat. Bahkan, mereka terkadang harus diinterogasi di bandara.