REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK – Pekerjaan sehari-hari wanita Muslim, Anchana Heemmina adalah mendengarkan kisah dari para korban sebagai bagian dari kampanye untuk menghentikan kekerasan yang ada di Thailand selatan. Pekerjaannya dalam memperjuangkan hak asasi manusia telah membahayakan nyawanya.
Ini dimulai ketika saudara iparnya ditangkap pada 2008. Dia dituduh membunuh pasukan keamanan negara di Thailand selatan. Selama beberapa dekade, pemberontakan terus terjadi untuk mencari kemerdekaan bagi minoritas Muslim Melayu yang ada di sana.
Hari-hari Heemmina sering dimulai dengan panggilan telepon yang melaporkan tentang pelecehan dalam penahanan negara. Dengan buku catatan dan teleponnya, dia akan mengunjungi rumah korban untuk merekam kesaksian mereka.
“Mereka menggunakan banyak cara penyiksaan, seperti pemukulan, sengatan listrik, dan larangan tidur,” kata Heemmina. Melalui Duay Jai, organisasi hak asasi yang didirikan Heemmina pada 2011, dia telah mendokumentasikan hampir 150 kasus penyiksaan di bagian Thailand selatan.
Penggunaan penyiksaan oleh militer adalah gejala dari konflik internal yang telah berlangsung lama di Thailand. Lebih dari 7.000 orang telah tewas dan lebih dari 13 ribu luka-luka sejak konflik itu terjadi kembali pada tahun 2004. Kala itu, polisi Thailand mengakui pada Oktober setidaknya 78 pengunjuk rasa Muslim telah meninggal dunia di truk tentara.
Meskipun kekerasan mereda, pemboman, baku tembak, dan pembunuhan yang ditargetkan masih terjadi. Barisan Revolusi Nasional (BRN), gerakan separatis utama, masih menggunakan taktik gerilya melawan pasukan keamanan Thailand.
Muslim Melayu diperkirakan berjumlah kurang dari lima persen secara keseluruhan dari Thailand yang sebagian besar beragama Buddha. Namun, mereka membentuk sekitar tiga perempat dari populasi di empat provinsi selatan yang berbatasan dengan Malaysia dan hampir 90 persen di Provinsi Pattani.
Dilansir The Guardian, Rabu (18/8), Kelompok Kerja PBB untuk Penghilangan Orang Secara Paksa melaporkan setidaknya ada 86 kasus penghilangan paksa di Thailand sejak 1980. Sebagian besar dari mereka yang hilang bekerja di bidang hak lingkungan dan tanah.
Protection International (PI), sebuah organisasi yang mendukung aktivis lingkungan dan pembela hak asasi manusia menemukan sejak tahun 2003, setidaknya 62 pembela hak dan pengacara berbasis komunitas telah dibunuh di Thailand karena pekerjaan mereka.
Pada 2016, Komando Operasi Keamanan Dalam Negeri Thailand, sebuah unit militer kontroversial yang berfokus pada keamanan nasional, menuduh Heemmina dan dua pembela hak asasi manusia lainnya melakukan pencemaran nama baik. Para aktivis percaya kasus itu merupakan tanggapan langsung terhadap pekerjaan mereka yang berkaitan dengan penyiksaan negara.
Heemmina mengatakan tuduhan terhadapnya salah. “Itu salah menggunakan tuduhan pencemaran nama baik hanya karena saya berbicara tentang situasi orang-orang kita di negara kita. Saya mengerti mereka ingin melindungi negara tapi mereka merasa keamanan lebih penting daripada orang-orang di daerah pedesaan,” ujar dia. Pihak berwenang membatalkan semua tuduhan pada Maret 2017.
Kemudian, pada 2019, dia melihat sebuah akun Facebook dengan fotonya terlampir dengan judul yang kasar. Dalam beberapa hari berikutnya, lebih banyak lagi unggahan fitnah yang muncul. Akhirnya platform media sosial berhasil menghapus akun tersebut pada Maret 2020.
Kepala kebijakan keamanan siber Facebook mengatakan akun tersebut terkait dengan militer Thailand. Anggota parlemen terkemuka dari partai oposisi Future Forward juga merilis dokumen yang tampaknya membuktikan kampanye tersebut diarahkan negara.
Heemmina mengatakan situasinya telah membaik dalam beberapa bulan terakhir. Kasus-kasus penyiksaan di selatan berada pada tingkat terendah selama bertahun-tahun dan pemerintah Thailand tampaknya mengambil langkah untuk mengekang pelecehan tersebut.
Sumber: theguardian