REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Forum Wakaf Produktif, Bobby Manulang, mengatakan, pola pikir masyarakat yang kurang tepat terhadap wakaf membuat pengembangan wakaf produktif di Indonesia cenderung lambat.
Bobby mengatakan, wakaf saat ini masih dianggap hanya bisa untuk kalangan orang kaya. Hal itu menyebabkan adanya pemahaman bahwa wakaf harus ditunaikan dalam bilangan besar."Tidak pantas jika puluhan atau ratusan ribu dan ini akhirnya membuat pemahaman yang sangat keliru," kata Bobby dalam webinar, Sabtu (7/8).
Dampak dari pemahaman tersebut masyarakat jadi menganggap bahwa berwakaf tidak perlu disegerakan. Dengan kata lain bisa dikerjakan menunggu hari tua. Menurut dia, hal itu sangat merugikan dan sangat berpengaruh pada tingkat partisipasi wakaf di Indonesia.
Ia pun menyampaikan, manfaat wakaf bukan hanya sebatas manfaat sosial. Padahal, juga dapat digunakan untuk keperluan komersial dalam membangun ekonomi umat. Wakaf, kata Bobby, pun bisa dilakukan secara tunai bukan dengan aset fisik."Sekarang ada kesenjangan antara wakaf fix asset lebih besar dari wakaf tunai. Ini membuat wakaf aset tidak dikelola dengan baik karena tidak memiliki kecukupan dana dari wakaf tunainya," ujar dia.
Oleh karena itu, ia menilai upaya literasi wakaf kepada masyarakat harus terus dilakukan. Di satu sisi, menurut Bobby milenial punya potensi yang besar dalam memajukan wakaf di Indonesia.
Bobby menjelaskan, dengan basis para wakif hanya dari golongan menengah ke atas, memang dapat menghasilkan wakaf yang besar namun dari wakif yang sedikit. Berbeda jika basis wakaf saat ini dari milenial, meski hanya mampu dalam jumlah yang kecil namun memiliki basis massa yang besar."Oleh karena itu kita melalukan program wake up wakaf untuk milenial dimana kita memberikan terus informasi mengenai wakaf. Anggap saja ada satu juta milenial, lalu bisa diraih Rp 10 ribu per orang, maka bisa menjadi Rp 10 miliar per bulan," kata dia.
--