Oleh : Asrorun Niam Sholeh, Pengurus MUI
REPUBLIKA.CO.ID, --- Penyebutan petugas yang menyeru untuk shalat jamaah, termasuk shalat Idul Adha dengan beberpa sebutan, itu adalah fakta dan memiliki landasan keilmuan, historis, dan sosiologis. Ada yang menyebut muadzin, dan juga yang menamainya Bilal.
Saya menilai hiruk pikuk soal "muadzin" pada pelaksanaan Idul Adha itu tidak mencerdaskan, tidak substantif, dan cenderung memecah belah. Hal ini mengingat, secara keagamaan itu tidak menjadi masalah.
Bukan kesalahan. Bukan termasuk pokok ibadah, dan juga ada landasan keagamaannya. Namun, juga melahirkan hikmah betapa beragama itu dibutuhkan ilmu keagamaan yang cukup, sebelum menilai, apalagi mencaci dan membully.
Ketika saya ditanya wartawan terkait dengan isu ini, saya jawab sesuai keilmuan saya. Banyak media yang bertanya langsung ke saya, baik lewat telpon maupun WA. Ada juga yang memperoleh dari media lain lalu mengonfirmasi ke saya.
Beberapa media online menulis dengan judul Ini Kata MUI, Penjelasan MUI, dan sejenisnya. Judulnya datar. Respons juga datar.
Berikutnya, salah satu media online mainstream menulis dengan judul jelas mengenai inti yang dipermasalahkan Tak Masalah dari Sisi Agama, maka bullying, nyinyiran, dan komentar negatif banyak mengalir di media percakapan sosial.
Mulai dari yang sopan hingga paling kasar. Bahkan ada yang mengatakan "ini harapan kaum kafir", "penjilat", "membela orang salah", "masuk angin", "mencari pembenaran", dan berbagai komentar lainnya yang bernada minor.
Untuk itu, saya perlu menyampaikan secara lebih utuh perspektif keilmuan agama tentang muadzin dalam shalat Idul Adha. Kita perlu bersikap adil, sejak dalam pikiran kita.
Pertama, dari sisi bahasa, muadzin itu bahasa Arab, isim fa'il dari addzana yuazdzinu. Artinya orang yang menyeru. Bukan semata dalam pengertian "orang yang adzan" sebagaimana dikenal umum.
Dalam Alquran juga disebutkan kata muadzdzin (مؤذن) seperti dalam Surat al-A'raf ayat 44 dan Surat Yusuf ayat 70, yang berarti penyeru.
Dalam Surat al-A'raf disebutkan 44:
وَنَادٰٓى اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ اَصْحٰبَ النَّارِ اَنْ قَدْ وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقًّا فَهَلْ وَجَدْتُّمْ مَّا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا ۗقَالُوْا نَعَمْۚ فَاَذَّنَ مُؤَذِّنٌۢ بَيْنَهُمْ اَنْ لَّعْنَةُ اللّٰهِ عَلَى الظّٰلِمِيْنَ
"Dan para penghuni surga menyeru penghuni-penghuni neraka, “Sungguh, kami telah memperoleh apa yang dijanjikan Tuhan kepada kami itu benar. Apakah kamu telah memperoleh apa yang dijanjikan Tuhan kepadamu itu benar?” Mereka menjawab, “Benar.” Kemudian penyeru (malaikat) mengumumkan di antara mereka, “Laknat Allah bagi orang-orang zalim".
Dalam Surat Yusuf ayat 70 disebutkan:
فَلَمَّا جَهَّزَهُم بِجَهَازِهِمْ جَعَلَ ٱلسِّقَايَةَ فِى رَحْلِ أَخِيهِ ثُمَّ أَذَّنَ مُؤَذِّنٌ أَيَّتُهَا ٱلْعِيرُ إِنَّكُمْ لَسَٰرِقُونَ
"Maka tatkala telah disiapkan untuk mereka bahan makanan mereka, Yusuf memasukkan piala (tempat minum) ke dalam karung saudaranya. Kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan: "Hai kafilah, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri".