Bahasa ini dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah bikinan Belanda. Walaupun ada penentangan juga pada pemakaian bahasa Belanda yang dianggap tidak memiliki akar kultural di Indonesia dan juga sebagai bentuk dominasi kultural atas orang Indonesia, namun bahasa ini berperan sebagai bahasa yang menjadi jembatan untuk masuknya ide-ide baru dari Barat, khususnya Eropa.
Di kalangan Muhammadiyah awal, bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Jawa, sesuatu yang masuk akal mengingat bahwa organisasi ini lahir dan eksis terutama sekali di inti kultural Jawa, Yogyakarta. Bahasa Melayu dan kemudian bahasa Indonesia, menjadi bahasa pengantar utama tatkala Muhammadiyah memperluas jangkauan cabang serta pengaruhnya hingga ke luar Yogyakarta, bahkan ke luar Jawa.
Di tengah penggunaan bahasa-bahasa ini, bahasa Belanda dipakai pula, khususnya untuk mengacu pada istilah-istilah yang berasosiasi dengan administrasi. Belanda tak hanya memperkenalkan organisasi-organisasi modern ala Barat berikut pengelolaannya, tapi juga istilah-istilah khas mereka, yang kemudian diadopsi oleh berbagai lembaga yang didirikan kaum pribumi.
Istilah Bahasa Belanda
Di persyarikatan Muhammadiyah, ada sejumlah istilah-istilah keorganisasian yang berasal dari bahasa Belanda. Dulu, istilah ini lazim dipakai karena makna kemodernan yang dibawanya serta belum adanya padanan yang pas dalam bahasa Melayu maupun bahasa lokal lain.
Seiring berakhirnya penjajahan Belanda serta usainya pengaruh kolonialismenya di Indonesia dan menguatnya peran bahasa Indonesia, sejumlah istilah itu kemudian menghilang dan diganti dengan istilah padanannya. Ada beberapa istilah administratif dari bahasa Belanda yang dipakai oleh warga Muhammadiyah generasi awal.