REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sejarawan Universitas Indonesia, Prof Anhar Gonggong, mengatakan kontribusi para ulama dalam membentuk pancasila sangat besar. Pancasila tidak akan menjadi dasar negara jika toleransi pemimpin Islam tidak berjalan.
Lahirnya Pancasila berawal dari pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 yang diterbitkan menjadi buku pada tahun 1947. Setelah pidato, terjadi pembentukan panitia kecil untuk menyusun dasar negara. Panitia kecil resmi dipimpin Dokter Radjiman Wedyodiningrat karena sebagai ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Anggota panitia itu terdiri dari delapan orang dengan perbandingan tidak seimbang, yaitu dua orang nasionalis Islami dan enam orang nasionalis sekuler.
“Sementara Soekarno mengumpulkan 38 anggota BPUPK. Dari 38 anggota itu, ia membentuk panitia kecil berjumlah sembilan orang yang melahirkan Piagam Jakarta. Anggotanya ‘seimbang’ yang terdiri dari lima nasionalis sekuler dan empat nasionalis Islami. Jadi, ada dua panitia kecil ya,” kata Anhar kepada Republika.co.id, Selasa (1/6).
Hasil Piagam Jakarta ini rencananya akan menjadi naskah proklamasi kemerdekaan dan akan menjadi pembukaan Undang-Undang Dasar. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, sore harinya Mohammad Hatta menerima telepon dari salah seorang staf Admiral Maeda yang menanyakan apakah bersedia menerima wakil-wakil dari Indonesia Timur karena akan menyampaikan suatu hal sangat penting. Menanggapi itu, Hatta segera menjawab “Ya saya terima.”
“Jadi sore hari datanglah wakil-wakil Indonesia Timur. Mereka non-Islam beragama Kristen Protestan dan Katolik. Mereka menyampaikan adanya penolakan Piagam Jakarta, yakni tujuh kata ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya,” ujar dia.
Dengan begitu, Hatta membentuk sidang pendahuluan dengan pemimpin Islam esoknya sebelum rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang membahas rumusan dasar negara, pembentukan presiden, dan bentuk negara. Sidang pendahuluan dihadiri oleh beberapa tokoh Islam, seperti Kasman Singodimejo dari Muhammadiyah, Ki Bagoes Hadikoesoemo dari Muhammadiyah, Wahid Hasjim dari Nahdlatul Ulama (NU), dan Teuku Muhammad Hasan dari Muhammadiyah. Mereka diajak masuk dalam satu ruangan dan berdiskusi bersama wakil-wakil dari Indonesia Timur.
Dalam buku memoir Hatta, Hatta mengatakan kurang dari 15 menit hal yang sangat penting bisa diselesaikan. Tujuh kata yang ditolak itu digantikan dengan tiga kata, “Yang Maha Esa” sehingga menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hatta mengatakan ini adalah toleransi para pemimpin Islam.
“Jadi, begitu besar sumbangan para pemimpin Islam terhadap proses di situasi yang sangat genting untuk menentukan berbagai hal yang berkaitan dengan kelangsungan hidup bangsa Indonesia merdeka untuk menegakkan negara republik merdeka,” ucap dia. n Meiliza Laveda