REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam salah satu pernyataan publiknya, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken, mengkritik Presiden Recep Tayyip Erdogan karena mengadopsi wacana politik anti-Semit. Kritik ini bukan hanya penyimpangan kebenaran yang sederhana, melainkan kesalahan yang menyedihkan.
Sepanjang sejarah Katolik Eropa, selalu ada masalah Yahudi, yang pada dasarnya adalah masalah agama. Bagi Gereja Katolik, Yudaisme bukanlah agama suci karena orang Yahudi dipandang sebagai pembunuh Yesus Kristus. Pada Abad Pertengahan, kota-kota Eropa memiliki agama mono, dan komunitas Yahudi tinggal di Ghetto.
Dalam bukunya "Flesh and Stone: The Body and the City in Western Civilization," profesor Richard Sennett menulis, "Orang-orang Yahudi di Genova tidak terhubung dengan penduduk kota lainnya dengan menutup mereka di dalam kastil dengan jendela batu ditempatkan di sebuah pulau. Setelah mereka pergi berbelanja di pagi hari, orang-orang Yahudi berlindung di kastil itu pada malam hari. Mereka diyakini sebagai sumber dari semua kejahatan, termasuk kuman."
Sennett menekankan rekonstruksi umum orang-orang Yahudi sebagai setengah manusia, setengah makhluk.
Di sisi lain, dalam Islam, baik Yudaisme maupun Kristen dianggap sebagai agama suci. Anggota dari ketiga agama monoteistik ini hidup berdampingan dengan damai di kota-kota Muslim.
Di Kekaisaran Ottoman, misalnya, komunitas non-Muslim tidak hanya dilindungi negara, mereka juga hidup sesuai dengan hukum agama mereka sendiri. Di bawah sistem "rakyat" multiagama Ottoman yang terkenal, orang-orang Yahudi Sephardi adalah komunitas yang dihormati.