Ahad 23 May 2021 05:01 WIB

Kisah Rabi Pencari Sumbangan Yahudi Miskin di Batavia

Israel Cohen, Rabi Pencari Sumbangan Yahudi Gembel di Batavia

Gedung loji perkumpulan Yahudi Freemason di Batavia. Kini gedung ini menjadi kantor Bappenas di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta.
Foto:

------------

Pada akhir kunjungan lima hari ke Hindia-Belanda, Cohen memperkirakan hanya ada sekitar 2.000 Yahudi di Nusantara. Rob Cassuto membantah klaim ini. Menurutnya, jumlah riil Yahudi di Hindia-Belanda jauh lebih tinggi, tapi tidak teridentifikasi.  

Argumentasi Cassuto diperkuat pengakuan beberapa anggota keluarganya yang secara sadar menyembunyikan identias keyahudian karena tidak ingin berbeda dari pemukim kulit putih lainnya. Jeffrey Hadler punya pendapat lain. Menurutnya, ada diskriminasi tak kentara terhadap Yahudi yang diterapkan pemerintah Hindia-Belanda.  

Misal, tidak ada Yahudi menempati posisi penting di Nederlandse Handelmaatschappij sampai 1936. Javasche Bank, Nederlandse Indische Handelsbank, dan perusahaan-perusahaan pelayaran (scheepvaartmatschappijen) baru membuka diri terhadap Yahudi tahun 1925. 

Jacob Saphir, orang yahudi yang singgah ke Batavia dalam perjalanannya ke Australia 1861. Ia mencatat keberadaan orang-orang Yahudi di Batavia. /Repro buku Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia Belanda (1861-1942).

Keterangan foto: Jacob Saphir, orang yahudi yang singgah ke Batavia dalam perjalanannya ke Australia 1861. Ia mencatat keberadaan orang-orang Yahudi di Batavia. Repro buku Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia Belanda (1861-1942). (sumber foto:Alinea.id)

Setelah Cohen pulang, dua organisasi Yahudi; Association for Jewish Interest in Dutch East Indies dan World Zionist Conference (WZC) terbentuk di Bandung, Yogyakarta, Batavia, Surabaya, Semarang, Padang, Medan, dan Malang.

Kemunculan kedua organisasi itu membawa sedikit pengaruh bagi penemuan kembali jati diri keyahudian dengan sistem kepercayaannya.  

Di Bandung, misalnya, muncul perayaan Hanukkah. Di Batavia dan Semarang, orang-orang Yahudi lebih suka terlibat dalam pertemuan Freemason dan kelompok-kelompok Theosofi. Menariknya, justru di loji Masonic hari besar Hanukkah dan Yom Kippur dirayakan.

Sedikit Yahudi lainnya terlibat dalam klub drama yang disebut Soos.  

Cassuto memperkirakan orang-orang Yahudi menjadikan loji Freemason untuk membangun jaringan, dan arena diskusi teologis yang tidak mempertentangkan agama. Mereka tidak pernah benar-benar menjadi Masonic, tapi merindukan suasana religius.  

Di Padang, pengaruh kedatangan Cohen mulai muncul enam tahun kemudian. Sebuah majalah bulanan bernama Erets Israel, ditulis dalam bahasa Ibrani, muncul pada 1926 dan terbit secara teratur.

Majalah tersebut dikonsumsi keluarga Yahudi di Padang, dan didistribusikan ke Semarang, Bandung, dan Batavia, namun diberangus Jepang pada 1942.  

Sepuluh tahun setelah kedatangan Cohen, Pemerintah Hindia-Belanda menggelar sensus. Berbeda dengan sebelumnya, sensus kali ini mencantumkan kata Yahudi dan asal dalam kolom white (kulit putih) non-Belanda.

Hasilnya, 1.095 secara sadar mengaku sebagai Yahudi, dengan berbagai asal negara; Belanda, Jerman, Polandia, Irak, Austria, dan Cina  

Dari jumlah itu, 85 persen bermukim di kota-kota di Jawa; Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Malang. Sebelas persen bermukim di Sumatra; Medan dan Padang, dan sisanya—kurang dari empat persen—mendiami pulau-pulau lain di Hindia-Belanda.  

Cassuto memperkirakan,jumlah Yahudi di Indonesia meningkat hampir tiga kali lipat beberapa tahun sebelum Adolf Hitler menginvasi Eropa.

Sentimen antisemit yang merebak di Jerman, Polandia, Belanda, dan negara-negara Eropa Timur lainnya, memaksa orang-orang Yahudi kaya melarikan diri. Hindia-Belanda menjadi salah satu destinasinya.

Jadi jangan gampang takjub sama dunia kan? sebab, kalau dibuka wajah aslinya, dunia tak ubah seperti lagu Achmad Albar yang syairnya ditulis Taufiq Ismail: Dunia panggung sandiwara!

Maka kalau kaya, ingatlah sesama dan orang miskin. Sebab, bisa saja hari ini kaya esok hari bangkrut total hingga perlu bantuan seperti nasib orang Yahudi di Palestina pada tahun 1920-an itu.

Dan ingat kalau kaya --apalagi juga berkuasa -- jangan sewenang-wenang. Sebab, kualitas seseorang itu tampak bukan saat ia tak berpunya dan jelata!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement