REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bagi Adi Amar Haikal Husin, murottal Alquran sudah menjadi bagian dari dirinya yang tak bisa dipisahkan. Sejak SMP, ia sudah menggeluti bidang ini. Segala perlombaan ia lewati sampai ia menang juara satu kompetisi Murottal Alquran Syiar Digital Indonesia (SDI) 2021 yang diselenggarakan oleh aplikasi Muslim Umma.
“Alhamdulillah senang bisa jadi juara di lomba ini karena temasuk ajang bergengsi. Saya sempat tidak pede saat tahu saingan saya, tapi yasudah saya pasrahkan ke Allah. Sebeluumnya, saya memang pengguna Umma jadi tahu informasinya dari Umma,” kata lelaki yang akrab disapa Amar kepada Republika.co.id, Senin (10/5).
Kecintaannya dalam dunia murottal, berawal dari mendengar rekaman murottal di mobil ketika pergi bersama sang ayah. Karena sering mendengar, Amar yang tadinya biasa saja dengan rekaman itu berubah menjadi familier. Setelah itu, ia mencoba sendiri meniru lantunan nada seperti qari. Tak terduga, Amar bisa menyesuaikan dengan baik setiap nadanya.
Namun, ketika ia mulai masuk SMA, ia baru mengetahui semua tajwid yang ia ucapkan saat murottal salah. Ini membuat dirinya harus belajar dari awal soal tajwid. Berkat bimbingan dari guru agamanya, ia berlatih terus selama berbulan-bulan sampai ia bisa mengikuti lomba murottal untuk pertama kalinya.
Amar masih ingat perasaan gugup menyelimuti dirinya kala itu. Terlebih, saat merekam video, banyak guru yang menontonnya. “Jadi itu lombanya daring, di sebuah ruang saya rekam video. Di sana, banyak guru, ada guru yang melatih saya, ada guru yang bagian merekam, saya benar-benar deg-degan. Sempat ngeblank di awal, tapi lama-kelamaan nggak,” ujar dia.
Amar tak menyangka, dari lomba tersebut ia berhasil membawa pulang juara satu. Demi mendukung impian Amar menjadi imam besar, setelah beberapa hari lomba, sang guru mengajak Amar untuk menjadi imam di sebuah masjid kotanya.
Lagi-lagi, karena pertama kali, Amar gugup. Alhamdulillah respon dari takmir masjid baik dan menjadikan Amar imam tetap untuk shalat Maghrib dan Isya. Kini, Amar menjadi imam di empat lokasi masjid.
Mempunyai jadwal padat setiap hari membuat Amar berbeda dengan remaja seusianya. Amar harus membagi waktu sebaik mungkin, antara urusan teman, sekolah, dan jadwalnya. Ditambah, ia merupakan anak sulung yang juga harus membimbing dua adiknya.
“Setiap selesai sekolah pukul 16.00. Nah, karena jarak masjid ke rumah jauh, daripada bulak-balik saya harus nunggu di sekolah sampai pukul 17.00 atau jelang Maghrib. Baru setelah itu saya berangkat ke masjid dan pulang ke rumah setelah shalat Isya. Untuk belajarnya, saya atur malam atau sehabis shalat Subuh,” jelas dia.
Sebagai qari, Amar melewati banyak rangkaian tantangan. Misal, saat kompetisi SDI, ia harus berjuang di tengah kondisinya yang sakit. “Saya sempat sakit lambung di awal lomba. Setelah itu saat masuk 15 besar saya kena radang tenggorokan juga tapi akhirnya sembuh pas awal Ramadhan. Berkah Ramadhan. Jadi, saya rekam setelah shalat Tarawih karena suara masih panas setelah imamin,” ujar dia.