REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU DKI Jakarta mengadakan peluncuran dan diskusi buku Moderasi Paham Keagamaan: Respons atas Masalah-masalah Keumatan dan Kebangsaan. Kegiatan itu diselenggarakan di Aula PWNU DKI Jakarta, Jl Utan Kayu Raya No 112, RT 1/RW 9, Utan Kayu Utara, Kecamaan Matraman, Jakarta Timur, Rabu (5/5).
Acara terselenggara atas kerja sama LBM PWNU DKI Jakarta dengan Konrad Adenauer Stiftung (KAS) Jerman-Indonesia dan Kemendagri.
Dalam kesempatan itu, Ketua PWNU DKI Jakarta yang diwakili oleh Khatib Suriyah PWNU DKI Jakarta K . Taufik Damas, mengucapkan terima kasih atas terselenggaranya kegiatan peluncuran dan diskusi buku. Terima kasih disampaikan kepada pihak Konrad Adenauer Stiftung (KAS) Jerman-Indonesia yang telah bersedia bekerja sama dalam acara diskusi dan peluncuran buku tersebut, narasumber, dan pengurus LBM PWNU DKI Jakarta.
Ari Dharma Stauss, sebagai Kepala koordinator Program dari Konrad Adenauer Stiftung (KAS) perwakilan Jerman untuk Indonesia dan Timor Leste juga menyatakan terima kasih kepada LBM PWNU DKI Jakarta atas kerja sama tersebut.
Dalam sambutannya, Ari Dharma Stauss menyatakan bahwa, Konrad Adenauer Stiftung (KAS) adalah nama kanselir pertama Jerman yang memiliki kontribusi besar dalam menjadikan Jerman sebuah negara demokrasi yang stabil. Dan KAS pun berpendapat bahwa demokrasi di Indonesia menjadi panutan bagi negara-negara lain, di tengah keberagaman agama, suku dan budaya.
“Peran umat Islam dan khususnya Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi terbesar di Indonesia maupun dunia, sangatlah penting dalam menjaga keharmonisan antarumat beragama dan kesetabilan bangsa,” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Ketua LBM PWNU DKI Jakarta KH Mukti Ali Qusyairi MA, dalam sambutannya mengucapkan terima kasih kepada pihak Kemendagri dan Konrad Adenauer Stiftung (KAS) yang telah memberikan kepercayaan bekerja sama dalam penerbitan dan peluncuran buku Moderasi Paham Keagamaan: Respons atas Masalah-masalah Keumatan dan Kebangsaan. Ia pun menyampaikan harapannya agar kerja sama dapat dilanjutkan dalam kegiatan-kegiatan lain di masa yang akan datang.
Dalam kesampatan itu, Kiai Mukti menyampaikan bahwa Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU DKI Jakarta dalam membaca dan menyikapi berbagai permasalahan dengan berpegang kepada prinsip-prinsip ke-NU-an, yaitu tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), cinta tanah air/nasionalisme, dan tiga jenis persaudaraan/ukhuwah, yaitu ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat Muslim); ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa dan se-Tanah Air); dan ukhuwah basyariyah atau ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama umat manusia). “Selain itu, NU selalu merujuk kepada referensi kitab-kitab klasik dan modern karya para ulama yang mu’tabarah (otoritatif),” kata Kiai Mukti.
Usman Hamid, direktur Amnesty Internasional Indonesia, sebagai keynote speaker, mengucapkan selamat atas terselenggranya diskusi dan peluncuran buku Moderasi Paham Keagamaan. Ia juga menyatakan bahwa buku tersebut adalah sumbangsih para kai muda untuk merespons masalah-masalah keumatan dan kebangsaan yang dibutuhkan sebagai jalan tengah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di tengah-tengah permasalahan-permasalahan yang ada, yaitu permasalahan resesi ekonomi, pandemi dan demokrasi. Ia pun menyatakan bahwa demokrasi bertujuan untuk kesejahteraan umat manusia yang mesti dilestarikan.
Narasumber pertama, Dr Drs Imran MSi MA, sekretaris Ditjen Politik dan PUM Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia menyampaikan topik Pentingnya Moderasi Paham Keagamaan Dalam Penguatan Dan Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Penghayat Kepercayaan. Imran menyampaikan bahwa Indonesia memiliki keberagaman, baik itu budaya, suku, bahasa, letak geografis, dan sumber daya alam yang kaya.
Dalam kesempatan itu, Imran menyatakan bahwa, “persoalan yang muncul adalah pesebaran penduduk Indonesia tidak merata dan masih 56 persen terkonsentrasi di Jawa. Masalah keagamaan muncul karena tidak seimbangnya antara penduduk dan penyuluh agama, dan maraknya paham radikalisme.”
Imran dengan mengutip hasil riset Alvara dan Kepala BIN Budi Gunawan menyebutkan, ada sekitar 39 persen mahasiswa terpapar radikalisme, dan ini mengancam keutuhan NKRI. “Salah satu solusinya adalah moderasi paham keagamaan, yaitu cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa, dan ini selaras dengan RPJMN, setiap kementerian/lembaga,” paparnya.
Narasumber kedua Ustadz Sofyan Tsauri, sebagai mantan narapidana teroris, menyatakan, bahwa seorang teroris sebelum menjadi teroris, akan memiliki pemahaman intoleran dan radikal. Sofyan menyatakan bahwa ia lebih memilih NU, agar dirinya bisa sembuh total dari paham intoleran dan radikal, setelah tobat dari gerakan terorisme. Juga karena NU bermazhab dan memiliki metodologi istimbat al-ahkam (penggalian hukum) yang tidak hanya melihat hukum secara normatif, akan tetapi mempertimbangkan keragaman pendapat para ulama, dan aspek sosiologis masyarakat itu sendiri.
“Teroris hampir secara keseluruhan itu anti mazhab dan sangat tidak toleran dengan perbedaan, sehingga mereka berani untuk mengatakan bid’ah dan berujung kepada pentakfiran,” ujar Sofyan.
Narasumber terakhir KH Asnawi Ridwan, wakil Sekretaris LBM PBNU menyatakan, bahwa “ketika orang berfikir terlalu sempit maka akan mengarah kepada intoleran dan radikal. Akan tetapi, apabila mengedepankan akal dan mengenyampingkan pemahaman teks-teks Alquran dan hadits, maka akan menjadi Ibahiyah, yaitu golongan yang serba membolehkan. Mazhahib al-arba’ah bisa dikatakan posisinya seperti kesepakatan sahabat, yang dapat menjawab berbagai persoalan yang bisa diterima semua pihak. Selain Ushul fikih, juga harus dibarengi dengan pemahaman kaidah fikih, sehingga dalam merumuskan jawaban keagamaan bukan hanya menurut pandangan pribadi seseorang melainkan juga memikirkan kemaslahatan umat. Seperti ada orang-orang yang semangat memperjuangkan negara Islam yang diidentikan dengan ayat qishash dan hudud, yaitu hukuman dipotong tangan bagi pencuri dan hukum bunuh, tanpa melihat bahwa di dalamnya ada syarat-syaratnya, dan ada rukhsah (keringanan) dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi masyarakat atau suatu bangsa.”
Menurutnya, NU sangat memahami persoalan ini, karena NU kaya dengan referensi, sehingga qishash dan hudud dapat digantikan dengan hukum lain. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan oleh pemerintahan Harus Al-Rasyid yang mengganti qishas dan hudud dengan penjara, dengan dua substansi, yaitu memberikan hukuman yang mendidik dan dapat memberikan efek jera,” kata Kiai Asnawi.
Acara peluncuran dan diskusi buku Moderasi Paham Keagamaan: Respons atas Masalah-Masalah Keumatan dan Kebangsaan ini dihadiri oleh 30 kiai se-DKI Jakarta. Mereka antara lain, KH Zen Ma’arif, KH Achmat Hilmi, KH Jamaluddin Junaidi, Kiai Muhammad Khoiron, KH Sapri Sale, dan KH Kam Taufik.
Di ruang Zoom, juga hadir antara lain, Ibu Nyai Dalliya Hadzirotal Qudsiyah, Ustadz Ade Perdiansyah, Leo Yowono dari Bnei Noah Indonesia, Sedangkan dari EitsChaim yaitu Elisheva, Yokhanan Elyaho, dan Abigail. Acara ini dipandu oleh Ajengan Saepullah dan diskusi dimoderatori oleh Kyai Roland Gunawan.