REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebencian oknum Barat terhadap Islam dan Muslim selalu ada pada tiap abad.
Dalam nada sinis misalnya, filsuf Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770- 1831) pernah berkata, “Satu-satunya yang kita pelajari dari sejarah ialah bahwa kita tidak belajar (memetik hikmah) apa pun dari sejarah.” Kutipan tersebut barangkali relevan untuk menjelaskan geliat Islamofobia di Eropa hari-hari ini.
Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Republik Federal Jerman, Arif Havas Oegroseno, sebagaimana dikutip dari dokumentasi Harian Republika mengatakan, ada semacam trauma sejarah yang masih terasa di tengah masyarakat Eropa. Sebagai contoh, Jerman, negara yang pernah mengalami rezim Nazi di bawah pimpinan Adolf Hitler (1921-1945).
Pada waktu Perang Dunia II, salah satu wujud ideologi Nazi ialah antisemit atau permusuhan yang keras terhadap kaum Yahudi. Dalam berbagai kesempatan, Hitler menyalahkan Yahudi sebagai biang keterpurukan Jerman pasca-Perang Dunia I.
Hasilnya, si pemimpin berkumis irit itu memerintahkan perburuan dan eksekusi atas Yahudi. Ratusan ribu orang menjadi korban di kamp konsentrasi yang dibangunnya. Seiring dengan akhir Perang Dunia II, Hitler mati bunuh diri.
Ideologi yang dikembangkannya pun menjadi terlarang di seluruh Jerman. Namun, ideologi yang senada kemudian muncul meskipun sasarannya bukan lagi Yahudi, melainkan Islam. Menurut Arif, pergeseran dari anti semitisme ke Islamofobia masih terasa bahkan hingga saat ini.
Sejarahnya adalah, awalnya antisemit atau anti-Yahudi, bukan Islamofobia. Nah, sekarang sudah berubah dan bergeser ke arah Islamofobia, ujar diplomat kelahiran Semarang, Jawa Tengah, itu saat menjadi narasumber pengajian bulanan Muhammadiyah yang bertajuk Islam dan Islamofobia di Eropa, beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, akar kemunculan gerakan-gerakan berbahaya, semisal antisemitisme atau Islamofobia, ialah ideologi yang bersifat eksklusi. Artinya, pengusung ideologi tersebut meyakini orang lain berbeda dan harus selalu di luar masyarakat Eropa.
Pada zaman Nazi, orang lain itu adalah Yahudi. Kini, yang dimaksud adalah Muslimin. Jadi, mungkin sebenarnya core-nya itu bukan terhadap Islam atau terhadap Yahudi, tetapi lebih kepada our difference. Jadi, 'kamu berbeda sehingga menjadi masalah buat kami', kira-kira begitu, ucapnya sembari menambahkan bahwa ini isu kompleks yang tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat.