Partikularitas Antropologi
Kekuatan buku ini adalah penerapan metode antropologi perbandingan dari studi agama dengan analisis interdisipliner yang penekanannya pada partikularitas—representasi yang merujuk pada realitas empiris yang lebih luas.
Menurut Bowen (2012), narasi antropologi harus diletakkan beririsan dengan analisis sosiologi, sejarah, dan studi agama yang diterapkan secara interdisipliner sehingga praktik dan interpretasi yang berkembang dapat dipahami melampaui partikularitas waktu dan tempat. Ia menganjurkan dua strategi untuk menelisik dimensi dalam masyarakat Muslim.
Pertama, melihat ragam pemahaman dan praktik beragama secara mendalam dan detail (focusing inward). Kedua, mencari pola umum dengan membuka ruang interpretasi terhadap realitas yang lebih luas (opening outward). Misalnya, ketika Adlin Sila membuat deskripsi padat dan runut tentang sejarah dan kekinian masjid dan imam di Bima untuk menunjukkan bekerjanya proses negosiasi ajaran dan otoritas.
Bahwa yang sedang terjadi di dalam masyarakat Muslim melalui dinamika masjid adalah reproduksi dan transformasi konflik turunan yang bersumber dari penerapan sistem diadik dalam kekuasaan Islam di Bima sejak era kesultanan tempo dulu.
Fakta sosiologisnya, pergantian lebe Ishaka yang berlatar belakang NU dengan lebe berlatar Muhammadiyah di Masjid Sultan (belum diamati oleh Sila dalam kajian ini) menyiratkan adanya perebutan ruang publik-politis yang membangkitkan kembali rivalitas lama antara dua ormas ini di Bima.
Artinya, terbentuk pemahaman bahwa otoritas imam mengalami involusi, tidak melebar sebagaimana di Sulawesi Selatan yang mengambil peran sebagai agen resolusi konflik sosial, atau di Lombok sebagai penyelesai konflik politik (Kingsley, 2010).
Deskripsi Hutagalung dan Winn memaknai masjid di Kupang dan Ambon sebagai tempat integrasi sosial berlangsung secara gradual, berlapis, dan simbolik antara etnis Bugis dengan penduduk setempat.
Antara komunitas Muslim dengan kelompok kepercayaan dan agama lain. Di Kupang, berlangsung kontestasi antara komunitas Kristen dengan Muslim, juga kontestasi yang intens antara kelompok keagamaan dalam Islam; Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Gafatar, Ahmadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), and Khilafatul Muslimin (Syukur dan Ja’far 2020; Jahroni 2019).
Oleh karenanya, di dalam buku ini kita tidak bisa membaca Muslim Ambon sebagai mistis, Muslim Kupang yang adem-ayem, dan Muslim Bima yang terus-menerus berbagi otoritas. Buku ini memiliki kepentingan untuk menghindarkan pemahaman yang sempit dan bias dari kerja antropologi.
Judul : Mosques and Imams: Everyday Islam in Eastern Indonesia
Editor : Kathryn M Robinson
Cetakan I : 2020
Penerbit : NUS Press, National University of Singapore
*Oleh, Abdul Wahid, peneliti gerakan Islam di Universitas Islam Negeri Mataram dan Didid Haryadi Departemen Sosiologi, Universitas Nasional