Rabu 10 Feb 2021 11:46 WIB

Kremasi Muslim Jadi Sorotan Dunia, Sri Lanka Bergeming

Sri Lanka bergeming kremasi jenazah Muslim Covid-19 meski diprotes

Rep: Meiliza Laveda/ Alkhaledi Kurnialam/ Kiki Sakinah / Red: Nashih Nashrullah
 Anggota organisasi keagamaan Muslim Sri Lanka Thawheed Jamaath, memegang plakat selama protes menentang kremasi korban Covid-19 Muslim di dekat Sekretariat Presiden di Kolombo, Sri Lanka, 16 Desember 2020.
Foto:

Dalam catatan terbaru mereka, para ahli PBB mengatakan praktik tersebut bertentangan dengan keyakinan Muslim dan komunitas minoritas lainnya di Sri Lanka. Tindakan ini dapat menimbulkan prasangka intoleransi dan kekerasan. Sementara itu, WHO mengatakan tidak ada bukti yang menunjukkan kremasi mencegah penyebaran virus korona.

“Meskipun kita harus waspada terhadap pandemi, langkah-langkah Covid-19 harus menghormati dan melindungi martabat orang yang meninggal termasuk tradisi atau kepercayaan budaya dan agama mereka,” kata para ahli PBB.

Kebijakan kremasi jenazah diduga untuk menghilangkan Muslim di Sri Lanka yang merupakan sekitar 10 persen dari 21 juta penduduk. Menurut data yang dikumpulkan Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins, lebih dari 70 ribu infeksi Covid-19 telah tercatat di Sri Lanka sejak pandemi dan 365 orang telah meninggal.  

Sementara itu, Departemen luar negeri Amerika serikat (AS), Duta Besar Amerika Serikat, dan Senator AS telah mendesak Pemerintah Sri Lanka untuk menghentikan kebijakan wajib mengkremasi korban Covid-19 yang meninggal. Hal ini untuk menghormati tradisi Islam, karena kasus kremasi paksa terhadap Muslim yang meninggal masih terjadi di Sri Lanka.

Dilansir dari Tamil Guardian, Ahad (31/1), kebijakan Sri Lanka tentang kremasi paksa telah dikecam oleh warga lokal, pihak internasional, serta oleh berbagai organisasi hak asasi manusia termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Human Rights Watch (HRW).

Departemen luar negeri AS mengungkapkan keprihatinan mereka melalui Twitter, mendesak Sri Lanka untuk mengikuti pedoman kesehatan masyarakat internasional. Anjuran ini agar pihak keluarga dapat mengirim orang yang mereka cintai ke pemakaman, sambil menghormati keyakinan agama dan tradisi budaya yang ada.

Duta Besar AS untuk Sri Lanka, Alaina B. Teplitz memposting ulang status Departemen Luar Negeri AS yang menyebut pemakaman korban Covid-19 telah dibenarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Karena itu, ia berharap agar Pemerintah Sri Lanka menghormati tradisi dan ajaran warganya yang Muslim.

Senator Amerika Serikat dan mantan ketua bersama Kaukus Sri Lanka di Dewan Perwakilan AS, Chris Van Hollen juga menyuarakan keprihatinan tentang kremasi paksa terhadap umat Islam. Ia bahkan mengirim sebuah surat kepada utusan Sri Lanka di Amerika Serikat, Ravinatha P. Aryasinha.

“Karena tindakan mengkremasi jenazah dilarang dalam Islam, kebijakan ini telah memperburuk stres dan kesedihan komunitas Muslim di Sri Lanka.  Ini telah menyakiti korban Covid-19, keluarga mereka, dari hak pemakaman Islam,"katanya.

Dia juga menjelaskan bahwa pedoman WHO mengizinkan penguburan dan kremasi. Dan bahwa tidak ada cukup bukti untuk membuktikan bahwa kremasi sebagai pengganti penguburan tradisional akan mencegah penyebaran Covid-19. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa memaksakan  kremasi adalah pelanggaran hak asasi manusia.

“Pakar hak asasi manusia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa penerapan kremasi sebagai satu-satunya pilihan untuk menangani jenazah yang dikonfirmasi atau diduga Covid-19 adalah pelanggaran hak asasi manusia.  PBB sangat mendesak Pemerintah Sri Lanka untuk menghentikan kremasi paksa jenazah Covid-19,"ungkapnya.  

 

Sumber: aljazeera

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement