REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Aprinus Salam, Kaprodi Magsiter Satra UGM.
Kata wakaf menjadi dipersoalkan, terutama dengan munculnya Gerakan Nasional Wakaf (GNW) dan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Kata 'wakaf' hidup dalam keseharian dan cukup sering digunakan. Pada awalnya, kata itu berasal dari bahasa Arab, waqf, yang artinya menahan diri.
Dalam Kamus Fiqih, artinya memindahkan hak atau pemilikan pribadi menjadi milik umum atau badan yang berfokus untuk kepentingan masyarakat. Kembali ke persoalan, wakaf itu bahasa apa? Apakah bahasa agama atau bahasa nasional bahasa Indonesia?
Ada persoalan sebagai ilustrasi. Dalam berbagai peraturan, terdapat kata wajib dan harus. Misal, selama pandemi kita wajib atau harus menggunakan masker. Kita sering menyamakannya dan dipakai secara bergantian. Akan tetapi, kita tidak bisa menolak kenyataan kalau ada yang merasa terdapat nilai rasa yang berbeda di antara kedua kata tersebut. Kata wajib, artinya, kalau tidak menggunakan masker, bisa dikenai semacam perasaan berdosa.
Jadi, bukan sekadar keharusan. Berbeda dengan kata harus yang hanya ditafsirkan, jika tidak mengikuti aturan tersebut, kita akan berhadapan dengan sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku.
Berbeda lagi dengan kata sholat (shalat) dan sembahyang. Kata shalat, dalam sejarahnya memang dipakai dalam terminologi agama Islam yang dari bahasa Arab.
Baca juga : Potensi Wakaf Uang di Indonesia
Artinya, pengertian shalat hanya dikenai kepada mereka yang beragama Islam, dalam pengertian berdoa dengan menyembah, menghadap, dan menyerahkan diri kepada Allah. Berbeda dengan sembahyang, kata tersebut dapat dipakai oleh semua agama untuk menyembah Tuhannya.