Rabu 03 Feb 2021 09:27 WIB

Abu Janda-Pandji Pragiwaksono Gagal Paham tentang NU?

Gagal Paham tentang NU?

KH Hasyim Asy'ari.
Foto:

Kebesaran NU

Tentu, kebesaran NU bukan hanya karena jutaan pengikutnya itu. Yang paling fundamental justru konsistensi gerakan ulamanya. Baik saat perjuangan melawan kolonialisme, perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, maupun kepeloporannya dalam ijtihad ideologis penerimaan Pancasila, lewat Muktamar Situbondo 1984.

Bahkan, hingga kini, NU tampil sebagai agen utama penebaran Islam wasathiyah, Islam damai dan berkeadaban, yang menjadi jawaban di seluruh dunia.

Tampilnya KH. Said Aqil Siradj dan Maulana Habib Lutfi bin Yahya dalam The Top 50--juga KH. Mustofa Bisri dan Gus Yahya Staquf dalam deretan 500--tokoh Muslim paling berpengaruh di dunia, merupakan bukti nyata bahwa konsistensi gerakan ulama masih tetap terjaga.

Itu semua, sejatinya, tak lepas dari nilai-nilai luhur yang diajarkan para pendirinya dulu. Hadlratus-Syaikh KH. Hasyim Asy'ari, misalnya, tidak hanya merumuskan secara konseptual lewat karya-karyanya, tapi bapak pendiri NU itu selalu memberi keteladanan dalam laku hidupnya. Inilah yang sebenarnya menjiwai Khittah NU itu sendiri. 

Bagaimana dulu Hadlratus-Syaikh selalu menjadi rujukan. Baik Bung Karno, Jenderal Besar Soedirman, juga Bung Tomo sendiri menyempatkan secara khusus, bahkan ke Tebuireng. Bukankah kita tahu, pertempuran 10 November yang kemudian menjadi Hari Pahlawan itu juga karena Resolusi Jihad-nya Hadlratus-Syaikh KH. Hasyim Asy'ari?

Bukankah rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dengan menghapus tujuh kata itu ditetapkan setelah Bung Karno mengutus tim yang berkonsultasi khusus dengan Hadlratus-Syaikh? Kiai muda Gus Muwaffiq sering menyampaikan kisah itu dalam ceramah-ceramahnya.

Saat ini, sebenarnya juga tak jauh beda. NU menjadi rujukan bukan karena megahnya "monumen" yang ditinggalkan para pendirinya. Monumen NU tak lain adalah kekayaan nilai-nilai tradisinya.

Ketika dulu tradisionalisme selalu dipertentangkan dengan modernisme karena dianggap sebagai "sumber" penghambat kemajuan, ulama NU secara konsisten justru "merawatnya". Di sini, para ulama tidak hanya melakukan konservasi dan revitalisasi, tetapi tradisi itu menjadi sumber inspirasi dan transformasi. Jargon yang berlaku saat ini, selain almuhafadhatu ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdhu bi al-jadidi al-ashlah, juga al-ishlah ila ma huwa al-ashlah tsumma al-ashlah fa al-ashlah atau innovative and continous improvement, sebagaimana sering disampaikan KH. Ma'ruf Amin.

Nilai-nilai tradisi itulah yang selama ini menjaga kebesaran NU. Itulah yang mengikat soliditas warga nahdliyin. Kesalahan membaca ini akan gagal memahami NU yang sebenarnya.

Bahwa kebesaran NU kemudian "dimanfaatkan" untuk kepentingan politik, oleh siapa pun yang memanfaatkannya, itu soal lain. Tak elok kalau alat ukur penilaian hanya berdasar pada gejala-gejala di tingkat "elite" saja.

Bukankah selama ini kita "menilai" Indonesia juga karena Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, serta nilai-nilai pluralisme dan toleransi yang masih selalu terjaga? Menilai Indonesia hanya dari sikap dan perilaku elitenya tentu akan dangkal jadinya.

Dalam konteks itulah penilaian pengamat sekaliber Fachly Ali tentang besarnya jumlah warga nahdliyin sebagai potensi politik yang diperebutkan, saya menilai kurang pas. Bahwa secara politik hal itu memang tak terelakkan, apalagi NU juga pernah tampil secara langsung dalam kancah politik (1952-1973), menjadi penyokong PPP (1973-1984), juga "memfasilitasi" lahirnya PKB (1998). Tapi menilai secara politik sebatas itu, akan berarti mengerdilkan politik kebangsaan NU itu sendiri.

Yang diharapkan dari seorang pengamat sekaliber Fachry Ali dalam soal ke-NU-an, tak lain bagaimana dia bisa menjelaskan tentang nilai-nilai transformatif yang dikembangkan ulama NU. Sebagaimana dulu dia dengan sangat mengesankan menjelaskan tentang etika Protestan dan semangat Kapitalisme-nya Max Weber (w.1920). Sejak 1987 saya sudah mengenal tulisannya itu. 

Mungkin, penilaian tentang NU terkini itu hanya amatan politik. Tapi, sekali lagi, kapasitas seorang Fachry Ali tak semestinya sebatas itu. Kali ini, saya nyatakan dia telah gagal memahami NU yang sebenarnya. 

Gagal paham tentang NU juga dialami oleh artis Pandji Pragiwaksono yang menilai NU--juga Muhammadiyah--saat ini jauh dari masyarakat. Dia membuat perbandingan dengan FPI yang justru lebih peduli dengan masyarakat. FPI, katanya, selalu lebih cepat bergerak untuk memberi pertolongan kepada warga masyarakat. 

Sebagai pelawak, mungkin kritik itu ada benarnya juga. Tapi, jika melihatnya sebatas dari sudut pandang media sosial, justru hanya menjadi lelucon yang tak mencerdaskan. Dia lupa, berapa banyak Rumah Sakit PKU dan klinik Muhammadiyah yang selama ini juga menolong umat.

Bahkan, dia juga gak mau tahu bagaimana kiprah Yayasan Kesejahteraan Muslimat (YKM) NU di Jakarta yang dulu dirintis Nyai Sholihah Wahid Hasyim kini telah memiliki 104 panti asuhan, 10 panti lansia, rumah sakit, rumah bersalin, dan lebih dari 100 klinik. Semua itu sebagai bentuk kepedulian kepada umat, memberikan pertolongan kepada warga masyarakat.

Bahkan, beberapa LSM dari China memberikan apresiasi khusus tentang ini dan siap mengembangkan kerja sama ke depan. Dan masih banyak lagi gerakan kemashlahatan yang dikembangkan Muslimat NU, apalagi di Jateng dan Jatim.

Yang lebih gak lucu lagi, gagal paham justru dari kalangan NU sendiri. Mereka yang menggunakan kebesaran NU hanya untuk kepentingan yang tak mencerdaskan.

Dalam kasus Abu Janda, misalnya, tak sepatutnya nama NU ditampilkan dalam "perang" media yang tak jelas mashlahatnya. Bagaimanapun, kemashlahatan menjadi salah satu prinsip utama karena dari sinilah ulama selalu mengukur laku hidup dan gerakannya.

 

Kalisuren, 3 Februari 2021

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement