REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tempat kita berpijak semenjak lahir tidaklah asing diketahui. Bumi. Bumi adalah bhumi yang bermakna tanah. Sebutan serupa lain, al-ardz juga earth memiliki maksud sama, yaitu tanah. Cukup beralasan bila Allah menghendaki penciptaan makhluk yang seunsur dengan tanah.
Masyhurlah kemudian dialog luhur antara Allah dan para malaikat tentang penciptaan. Bahwa Allah akan menjadikan Sang Khalifah di bumi (Qs Al-Baqarah [2]: 30).
Hanya saja, malaikat merasa iba kepada bumi, khawatir akan kerusakan yang diakibatkan. Namun, tentu Allah Maha Tahu atas apa yang tidak diketahui malaikat.
Bumi oleh Allah dijadikan wahana bersemayamnya manusia. Daratan, air, dan udara menjadi fasilitas penunjangnya. Harapan agung dari Sang Ilahi adalah kemakmuran yang dikelola oleh manusia.
Namun, mengelola kemakmuran bumi yang meliputi segala makhluk di dalamnya tentu membutuhkan arahan. Oleh itu, Allah menyandingkan sebutan khalifah kepada Daud as dengan kalimat, “Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah” (Qs Shad [38]: 26).
Menata dan mengelola menjadi kontrak kerja manusia di dunia. Maka, kata fahkum adalah manual awal bagi manusia agar tata sistem kemakmuran terwujud dengan saksama.
Allah memberi pagar khusus bagi manusia ihwal menata bumi dengan kalimat kunci, la tufsidu fi al-ardz (janganlah kalian merusak/berbuat fasid). Demikian pula varian lain dengan maksud serupa, wa la ta’tsau fi al-ardzi mufsidin. Oleh karena itu, patut dimafhumi bahwa menata kelola bumi adalah dengan jalan tidak merusaknya.
Bahwa jika kita mempunyai rumah, menatanya adalah dengan membuatnya bagus dan menjaga dari kerusakan. Tidak merusak berarti menjadikan segala hal yang berkaitan dengan bumi termanfaatkan dengan baik, benar, dan adil. Kebaikan, kebenaran, dan keadilan tentu akan berhubungan dengan sepak-terjang manusia sebagai khalifah.
Lihatlah Sulaiman as yang mampu membangun hubungan mutualistis antarmakhluk. Simaklah juga Umar bin Abdul Aziz. Bahwa keadilan yang dikelolanya bahkan dirasakan oleh binatang. Serigala tidak lagi memangsa domba, justru sebaliknya menjadi penggembala mangsanya sendiri.
Landasan iman setidaknya cukup memodali upaya manusia sebagai penata dan pengelola bumi (khalifah). Melalui keyakinan itu, manusia pada dasarnya mampu menjalankan kontrak hidupnya di bumi.
Demikian pula sadar diri terhadap apa yang sedang terjadi pada masa ini. Sampai pada masa nadir dunia, Allah memberi ruang bagi kita untuk memakmurkan dan mengembalikan keasrian dan makmurnya dunia. Maka, siapa tahu, malaikat tidak lagi iba pada bumi, tapi justru menjadi saksi kapabilitas manusia yang beriman, berkepribadian, dan berkesadaran terhadap tugas manajerial dunia. Tidak mudah tapi patut dilakukan terus-menerus.
-----
Sumber: Majalah SM Edisi 8 Tahun 2017
https://www.suaramuhammadiyah.id/2021/01/05/khalifah-bumi-manusia/