REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – KH Chudlori merupakan ulama karismatik asal Tegalrejo, Magelang yang sangat dekat dengan masyarakatnya. Beliau pendiri Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo.
Dalam bukunya yang berjudul “Memahami Islam Jawa”, M Bambang Pranowo juga menggambarkan sosok Kiai Chudlori sebagai ulama yang membekali santrinya dengan berbagai ilmu dan riyadloh (tirakat) dalam rangka olah batin mengasah kemampuan spiritual santri atau yang lebih dikenal dalam dunia tasawuf sebagai mujahadah.
KH Chudlori dikenal sebagai ulama besar yang karasmatik dan melahirkan banyak ulama yang tersebar di nusantara. Presiden RI keempat, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan salah satu ulama yang pernah belajar kepada Kiai Chudlori.
Dosen STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta, Nur Kholik Ridwan dalam tulisannya menjelaskan bahwa Gus Dur mulai menjadi santri Kiai Chudlori sejak 1957. Gus Dur belajar di Pondok Pesantren API selama dua tahun lebih sedikit, di bawah asuhan Kiai Chudlori.
Ada banyak cerita di Tegelrejo yang berkaitan dengan Gus Dur dan Kiai Chudlori. Di antaranya saat Gus Dur menyaksikan Kiai Chudlori menyarankan untuk membeli gamelan dulu daripada membangun masjid yang besar.
Begini ceritanya. Pada saat itu, Gus Dur menyaksikan penduduk kampung yang mendatangi Kiai Chudlori di pesantrennya. Mereka sebelumnya sudah melakukan musyawarah, tapi belum menemukan titik temu terkait pembagian dana kas desa.
Sebagian masyarakat menginginkan dana itu digunakan untuk membangun renovasi masjid dan sebagian menginginkan untuk membeli alat-alat kebudayaan, yaitu gamelan. Setelah mereka sampai dan diterima Kiai Chudlori, masing-masing kelompok yang berbeda pendapat itu kemudian menuturkan keinginannya.
Setelah itu, Kiai Chudlori pun memberikan pendapatnya. Kelompok yang setuju agar dana itu digunakan untuk renovasi masjid sangat senang karena mengira Kiai Chodlori, sebagai seorang kiai, akan memberikan fatwa bahwa dana itu sebaiknya untuk pembangunan masjid.
Namun, apa yang disampaikan Kiai Chudlori sungguh tak disangka. Kiai Chudlori justru mengatakan bahwa sebaiknya dana itu digunakan untuk membeli gamelan. Karena, menurut Kiai Chudlori, kalau gamelannya sudah ada dan masyarakatnya rukun, nanti dengan sendirinya dana untuk masjid akan ada.
Dan benar, setelah membeli gamelan masyarakatnya pun kompak dan mulai bergotong royong membangun masjid yang besar. Dari cerita tersebut dapat diambil suatu nilai bahwa Islam tidak hanya simbolik untuk bangunan, tapi lebih kepada pendekatan nilai-nilai. Apa gunanya masjid berdiri megah, tapi masyarakatnya terpecah belah dan tak pernah bersatu.