REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cendekiawan Muslim Prof Azyumardi Azra mengatakan, sesungguhnya Muhammadiyah sejak awal sudah menganut moderasi beragama.
"Hanya saja saat ini kata moderasi merupakan, istilahnya saja yang baru, secara substansi sejak awal di tahun 1912 pemikiran dan kiprah Muhammadiyah telah mencerminkan moderasi beragama,"ujar dia dalam seminar nasional Musyawarah Tarjih Muhammadiyah ke 31, Ahad (13/12).
KH Ahmad Dahlan telah menerapkan apa yang disebut di dalam surah Albaqarah ayat 143,"Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia,".
Istilah Wasatiyyah memang tidak terlalu sering menjadi percakapan dan wacana. Tetapi pada kehidupan sehari-hari prinsip dan kerangka paradigma wasatiyyah selalu dipraktikan sejak KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah.
Karena sebaik-baik urusan berada di tengah-tengah, tidak ekstrim ke kiri, kanan, atas atau bawah. Muhammadiyah hingga kini tetap konsisten, seimbang, adil, toleran, inklusif, akomodatif dan cinta tanah air. Ciri tersebut merupakan bagian dari 12 karakter yang disepakati bersama dalam pertemuan tingkat tinggi wasatiyyatul Islam di Bogor dua tahun lalu.
"Dalam teologinya, Muhammadiyah bersandar pada paham Asy'ariyah tetapi yang sudah diperbarui terutama tentang etos kerja dan tidak menganut paham Muntaxilah yang terlalu liberal, karena Muhammadiyah bukan liberal,"ujar dia.
Fikih yang digunakan pun adalah fikih Syafii dimana mencerminkan moderasi beragama dalam bidang hukum seperti ijtihad bersumber dari Alquran dan Hadits.
Dalam bidang tasawuf, diakui Azyumardi memang kalangan Muhammadiyah kurang reseprif terhadap tasawuf apalagi tarekat yang tidak populer. Adapun jika diamalkan maka hanya secara pribadi dan dalam kelompok yang terbatas.
Muhammadiyah memang tidak terlalu anti dunia atau filosofis. Meski demikian Muhammadiyah tidak pernah keluar batas dari moderasi.
Di bidang budaya, Muhammadiyah berorientasi pada Alquran dan sunnah dengan hadits yang mutawatir. Muhammadiyah jelas menolak bid'ah dan kurafat di dalam ekspresi budaya tetapi tidak menolak budaya lokal yang sudah ada.
Azyumardi mencontohkan Muhammadiyah yang adaptif dan apresiatif terhadap budaya lokal seperti ketika milad Muhammadiyah ditampilkan wayang yang berasal dari budaya Jawa. Namun ceritanya mengalami pemurnian sehingga cocok dengan umat Islam dan warga Muhammadiyah.
Muhammadiyah tidak mengimpor budaya dari negara lain seperti Timur Tengah, Asia Selatan maupun Afrika Utara. Organisasi ini setia budaya lokal di Indonesia tetapi membuang bid'ah, kurafat dan takhayul. Disinilah pentingnya Ijtihad.
Di bidang pendidikan, moderasi keberagamaan Muhamamdiyah menyerukan kepada Alquran dan sunnah. Dalam bidang pendidikan tidak berbeda.
Muhammadiyah tidak membuat hal baru tetapi menggunakan wadah yang telah ada yakni sekolah belanda dengan memasukkan kurikulum pendidikan agama berdasarkan Alquran. Belakangan Muhammadiyah tidak terbatas hanya pada sekolah umum, tetapi juga mengembangkan pesantren.
Ini karena di masa lalu masyarakat lokal banyak yang menolak jika Belanda mendirikan sekolah untuk rakyat Indonesia. Peran Muhammadiyah penting dalam sistem pendidikan sekolah ketika itu dengan memasukkan pendidikan agama, tifak heran sekolah Muhammadiyah ini dapat diterima di berbagai daerah seperti Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Utara hingga daerah timur di Makassar.