Jumat 11 Dec 2020 05:55 WIB

Kisah Islamnya Influencer dr Tirta, Antara Mimpi dan Doa

Dokter Tirta mengalami perjalanan spiritual dari ateis hingga Muslim.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Nashih Nashrullah
Mualaf dr Tirta
Foto: Dok Pribadi
Mualaf dr Tirta mengenal Islam melalui proses yang panjang

Mulai berubah

Tirta menuturkan, dirinya mulai mengalami perubahan sejak lulus SMA. Ia mengaku bersyukur karena lolos seleksi masuk UGM Yogyakarta. Apalagi, jurusan yang ditempuhnya cukup prestisius, yakni Kedokteran Umum.

Di tanah rantau, Yogyakarta, dirinya bertemu dengan macam-macam orang. Kalau di Solo dahulu, ia cenderung dikucilkan sehingga berkawan hanya dengan sesama keturunan Tionghoa. Namun, selama di Kota Gudeg, pergaulannya kian luas dan beragam. Dalam berteman, tidak membeda-bedakan antara pribumi dan nonpribumi. Bahkan, banyak teman dan sahabatnya yang Muslim.

“Ketika kuliah di UGM, aku ketemu berbagai macam karakter orang. Dari situ, aku mulai terbuka,” ujarnya. Dari kawan-kawannya yang Muslim itu, Tirta pun belajar mengenal Islam. Di antara yang membuatnya terkesan adalah kisah Wali Songo dalam menyebarkan syiar agama ini di tanah Jawa. Baginya, dakwah para mubaligh legendaris itu sangat membumi. Sebab, pendekatannya berbasis kebudayaan sehingga betul-betul ajaran Islam tertanam dalam benak masyarakat.

Bahkan, mahasiswa FK UGM itu juga berkenalan dengan seorang pengasuh pondok pesantren di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), namanya KH Jumroni. Padahal, waktu itu dirinya masih non-Muslim atau ateis.

Percakapan dengan Kiai Jumroni membuatnya berpikir ulang tentang keyakinannya. Islam ternyata indah dan tidak bertentangan dengan akal rasional. Agama yang dianut ayahnya itu mengajarkan bahwa Tuhan Maha Esa. Allah SWT itu satu, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.

Mimpi dan doa

Hingga pada suatu sore, Tirta yang saat itu masih menapaki studi di Yogyakarta bermimpi. Dalam mimpinya, ia merasa sedang terbang di langit. Di sisi kanan dan kirinya tampak dua sosok berbaju putih dan bercahaya. Saat melesat itu, dirinya juga melihat seorang imam besar di Makkah. Pemandangan kota tempat lahirnya Nabi Muhammad SAW itu memang tak asing baginya. Sejak masih kecil dahulu, gambar-gambar Ka'bah dan Masjidil Haram sudah dilihatnya terpampang pada dinding rumahnya.

photo
Mualaf dr Tirta - (Dok Istimewa)

Tirta dalam mimpinya juga berpapasan dengan sang pemimpin pondok pesantren yang dikenalnya. Maka begitu terjaga, bunga tidur itu tidak dicampakkannya dari pikiran. Lama juga dirinya merenungi apa makna mimpi tersebut. Beberapa hari setelah itu, dia mengaku selalu mendengar suara kumandang adzan. Bahkan, kebiasaan itu terjadi selama tujuh hari berturut-turut, khususnya setiap pukul 09.00 dan pukul 12.00 WIB. Karena merasa perlu bercerita, Tirta pun menelepon ayahnya.

Ternyata bapaknya mengungkapkan apa yang selama ini dilakukannya. Sang ayah secara rutin berdoa kepada Allah SWT agar anak satu-satunya itu kembali kepada iman dan Islam. Doa yang sama juga dipanjatkannya kala bertawaf di Ka'bah dalam kesempatan umrah. “Bapak cerita, saat umrah itu bapak berdoa, semoga Allah mengarahkanku untuk mendapatkan yang terbaik. Dan sejak itu, saya memutuskan masuk Islam,” ujar Tirta. 

Keesokan harinya, ia mengunjungi pesantren milik Kiai Jumroni. Setelah mengutarakan maksudnya untuk memeluk Islam, Tirta pun mengikuti beberapa kali bimbingan. Dengan demikian, dirinya semakin yakin bahwa keputusannya datang dari pribadinya, bukan dorongan, apalagi paksaan siapa pun. Akhirnya, lelaki yang kala itu berusia 23 tahun ini mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan sang kiai. Lokasinya adalah sebuah masjid di Sleman, DIY.

Seusai bersyahadat, untuk menguatkan iman, Tirta pun menjadi santri di pesantrennya Kiai Jumroni. Meskipun tidak lama nyantri, dirinya bersyukur karena di sanalah semangatnya ditempa untuk menjadi Muslim yang konsisten. “Ketika iman saya berada di titik terendah, saya sadar perlu mengisi ulang ilmu saya sehingga saya pasti akan meluangkan waktu untuk menimba ilmu kepada Kiai Jumroni,” ujar dia. 

Pada 2013 Tirta lulus dari FK UGM Yogyakarta. Kariernya dalam dunia medis bermula di Puskesmas Turi Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Selanjutnya, dirinya menjadi dokter muda di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito di kota yang sama hingga 2015. Beberapa tahun kemudian, ia memutuskan untuk berhenti dari profesi kedokteran.

Fokusnya beralih pada dunia wirausaha, yakni menjadi pemilik usaha jasa cuci sepatu. Nama yang dipilihnya untuk usahanya itu: Shoes and Care. Salah satu ujian hidup yang pernah dirasakannya terjadi pada 2018. Kala itu, dirinya divonis menderita bronkitis akut. Namun, kini dirinya telah pulih dan terus menjaga kesehatan.

Shoes and Care pun kian berkembang. Hingga saat ini, perusahaan itu telah memiliki lebih dari 25 cabang di berbagai kota besar se-Indonesia. Bahkan, baru-baru ini cabangnya telah ada di Singapura.

“Aku masih punya satu cita-cita yang belum kesampaian. Aku mau buat rumah sakit dari duitku sendiri di mana itu mewadahi dokter-dokter muda yang baru lulus. Insya Allah, RS yang bisa berguna untuk rakyat, khususnya mereka yang memiliki keterbatasan finansial,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement