Kamis 10 Dec 2020 19:47 WIB

Protes Kremasi, Muslim Sri Lanka Tolak Ambil Jenazah Kerabat

Sri Lanka menyebut mengubur jenazah Covid-19 mencemari air tanah.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Ani Nursalikah
Protes Kremasi, Muslim Sri Lanka Tolak Ambil Jenazah Kerabat. Masjid 49 Menara, Ikon Budaya Muslim di Sri Lanka
Foto:

"Mengapa Sri Lanka satu-satunya negara di dunia yang memaksa kami mengkremasi orang mati?" tanya salah satu pemohon yang juga manajer pengiriman Fayaz Joonus (48).

Ayah Joonus meninggal pada 1 April 2020, sehari setelah pemberitahuan kremasi itu dikeluarkan. Ketika otoritas kesehatan menemukan pria berusia 73 tahun itu positif Covid-19, keluarganya harus membeli peti mati untuk kremasi dan membayar biayanya.

"Itu adalah pengalaman yang menyakitkan dan menyedihkan. Kami Muslim menganggap kremasi sebagai pelanggaran terhadap tubuh manusia," kata Fayas.

Ayahnya adalah orang Sri Lanka ketiga dan Muslim kedua yang meninggal karena Covid-19. Sejak itu, negara itu telah memiliki hampir 30 ribu kasus Covid-19 dan 142 orang telah meninggal, termasuk setidaknya 55 Muslim. Pihak berwenang bahkan meminta mereka yang diduga meninggal karena Covid-19 untuk dikremasi.

Pada satu kasus yang keliru, Naushad Rafaideen mendapati ayahnya meninggal karena nyeri dada di rumah mereka di Kolombo pada 5 Mei 2020. Namun, rumah sakit bersikeras sang ayah harus dikremasi karena diduga meninggal akibat Covid-19.

Jika mereka bersikeras menguburkannya, para dokter mengatakan keluarga akan bertanggung jawab atas orang lain yang tertular virus itu. Karena itu, keluarga merasa takut dan akhirnya menerima perintah rumah sakit.

Namun ketika tes akhirnya menunjukkan ayahnya tidak mengidap Covid-19, Naushad kemudian mengajukan petisi ke pengadilan dengan tuduhan kremasi yang keliru. "Tapi pengadilan membatalkan kasus ini. Hati saya sakit karena orang lain akan terus menderita sekarang. Apakah tidak ada solusi untuk ini?" ujarnya.

Dalam sebuah surat kepada Perdana Menteri Sri Lanka Mahinda Rajapaksa, Koordinator Residen Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kolombo, Hanaa Singer, mendesak pemerintah Sri Lanka meninjau kembali pedomannya. "Asumsi umum bahwa orang yang meninggal karena penyakit menular harus dikremasi untuk mencegah penyebaran tidak didukung oleh bukti. Sebaliknya, kremasi adalah masalah pilihan budaya dan sumber daya yang tersedia," tulis Singer.

Sejak berakhirnya perang saudara selama 30 tahun pada 2009, minoritas Muslim di Sri Lanka telah menghadapi serangan dan kekerasan dari kelompok fundamentalis Buddha Sinhala yang memiliki pengaruh yang semakin besar terhadap pemerintah.

"Kami sangat merasa itu adalah bagian dari kebijakan islamofobia dan rasialisme yang dilembagakan pemerintah Sri Lanka," kata aktivis hak asasi manusia yang berbasis di Kolombo, Shreen Saroor, yang juga mengajukan petisi menentang kremasi paksa.

 

Dokter pemerintah, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan mereka menghadapi dilema saat ini, karena meningkatnya jumlah mayat yang tidak diklaim di kamar mayat menimbulkan risiko kesehatan. "Keluarga tidak membayar untuk kremasi, dan undang-undang tidak mengatakan pemerintah dapat membayar biayanya. Semua departemen menghindari tanggung jawab tersebut," katanya.

https://www.straitstimes.com/asia/south-asia/sri-lanka-muslims-leave-bodies-of-relatives-unclaimed-in-protest-of-cremation-rule

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement