REPUBLIKA.CO.ID, SRI LANKA -- Sri Lanka telah mengumumkan kebijakan barunya, yakni melarang penyembelihan sapi. Kebijakan tersebut dianggap politis karena merugikan minoritas Muslim dan menggembirakan umat Buddha.
Dilansir dari 5Pillar, Jumat (2/10), larangan tersebut dianggap akan menargetkan pedagang Muslim yang memiliki monopoli perdagangan daging sapi di Sri Lanka. Seorang anggota parlemen Muslim, Mujibur Rahman, mengatakan larangan Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa bukanlah tentang mengikuti ajaran Buddha.
Jika berdasarkan ajaran Budha, maka larangan penyembelihan bukan hanya terhadap sapi, tapi juga hewan-hewan lain. “Jadi ini bukan tentang kebijakan Sang Buddha. Sebaliknya, ini adalah kebijakan PM Mahinda Rajapaksa,” kata Rahman.
Menurut Rahman, kebijakan yang dibuat Rajapaksa dan Presiden Sri Lanka Gotabaya akan menciptakan masalah yang seharusnya tidak perlu. Kebijakan tersebut juga secara langsung dan tidak langsung akan membuat ribuan orang yang menggantungkan hidup dengan penjualan sapi akan kehilangan pendapatan mereka.
"Ini akan menghancurkan pendapatan mereka secara langsung dan tidak langsung," ujar Rahman.
Wakil Presiden Dewan Muslim Sri Lanka, Hilmy Ahmed mengatakan larangan itu pada akhirnya akan meningkatkan populasi ternak di negaranya. Ternak-ternak akan berkeliaran di jalanan.
“Seekor sapi tua atau banteng harganya sekitar 35 ribu rupee Sri Lanka (189 dolar AS atau Rp 2,8 juta),” kata Ahmed.
Menurut Ahmed, kebanyakan peternak akan menjual setidaknya 20 sampai 30 sapi dalam sebulan. Tapi, jika undang-undang itu disahkan, sama artinya mereka akan membiarkan sapi jantan itu berkeliaran di jalanan.
"Ini bisa menjadi bencana dan akan berdampak pada pendapatan petani," ujar Ahmed.
Menurut Departemen Produksi dan Kesehatan Hewan, populasi sapi Sri Lanka pada 2019 lebih dari 1,5 juta dan memiliki 472 ribu kerbau. Sri Lanka menghasilkan lebih dari 29 ribu ton daging sapi tahun itu, naik 1.000 ton dari 2018.
Pemerintah mengklaim larangan tersebut akan membantu industri susu dan dengan demikian menghemat uang yang digunakan untuk membeli susu bubuk impor. Kabinet mengatakan peningkatan pemotongan sapi membuat peternak tradisional sulit mendapatkan sapi untuk diperah susunya. Sedangkan sapi yang sudah tua tidak dapat lagi digunakan secara efektif untuk tujuan pertanian.
Ia menambahkan pemerintah akan mengimpor daging sapi dan memberikannya dengan harga konsesi kepada masyarakat yang mengonsumsinya karena tidak akan diproduksi di dalam negeri. Umat Buddha serta minoritas Hindu di Sri Lanka menghindari daging sapi karena alasan agama dan budaya.
Beberapa biksu Buddha dan kelompok sekutunya sejak lama mengusahakan larangan penyembelihan ternak. Umat Buddha berjumlah lebih dari 70 persen dari 20 juta penduduk negara Sri Lanka.
Etnis minoritas Tamil, yang sebagian besar beragama Hindu, berjumlah sekitar 15 persen dari populasi. Sebanyak sembilan persen lainnya adalah umat Muslim.
Ketegangan komunal antara umat Buddha dan Muslim telah meningkat sejak berakhirnya perang saudara di Sri Lanka lebih dari satu dekade lalu. Rajapaksa, yang telah memerintah Sri Lanka sejak 2005 telah dituduh menjadi kaki tangan nasionalis Buddha yang telah menghasut untuk melawan Muslim.
Ketegangan antara Muslim dan Buddha meningkat pada Paskah 2019 setelah bom bunuh diri di tiga hotel dan tiga gereja yang menewaskan 279 orang. Beberapa minggu kemudian, gerombolan Sinhala menyerang Muslim, membunuh satu orang dan melukai puluhan lainnya. Ratusan rumah dan kendaraan hancur dan pihak berwenang dituduh gagal menghentikan kekerasan itu.