Kamis 03 Dec 2020 21:11 WIB

Pesan di Balik Aksi Biadab Penggal Kepala oleh Ekstremis

Rangkain aksi penggal kepala oleh ekstremis terus terjadi

Rep: Fuji E Permana/ Red: Nashih Nashrullah
Rangkain aksi penggal kepala oleh ekstremis terus terjadi. (ilustrasi) karangan bunga untuk Samuel Paty
Foto:

Ancaman kekerasan oleh ekstremis yang terus-menerus adalah sinyal yang jelas bahwa perang melawan teror global, yang diluncurkan setelah serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat telah goyah. Bahkan di negara-negara Barat, tindakan pemerintah yang berarti terhadap ekstremisme Islam sering terhalang kekhawatiran tentang diskriminasi.  

Namun, mereka yang meneriakkan 'Islamofobia' seringkali membuat komunitas Muslim menjadi kurang aman, dengan membiarkan ekstremisme tumbuh tanpa terkendali.  

Hanya ada satu negara di dunia saat ini yang benar-benar menekan radikalis Islam, yakni China. Dalam beberapa tahun terakhir, China telah memenjarakan lebih dari satu juta orang Uighur dan anggota minoritas Muslim lainnya di wilayah Xinjiang barat. Dengan dalih memerangi terorisme, pihak berwenang melakukan penghapusan identitas Islam secara metodis dan berskala besar.  

Namun komunitas internasional termasuk negara-negara Muslim sebagian besar tetap diam tentang tindakan China. Tahun lalu, perdana menteri Malaysia saat itu, Mahathir bin Mohamad menjelaskan alasannya. "China adalah negara yang sangat kuat," kata Mahathir. 

Sebaliknya, setelah serangan Nice, Mahathir men-tweet bahwa Muslim memiliki hak untuk marah dan membunuh jutaan orang Prancis untuk pembantaian di masa lalu. Tweet pembakar itu telah dihapus karena mengagungkan kekerasan, meskipun akun Mahathir tidak ditangguhkan, sebuah kesempatan yang terlewatkan untuk melawan hasutan. 

photo
Warga berunjuk rasa di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (6/11/2020). Aksi Solidaritas Bela Rasulullah SAW itu menyerukan pemboikotan terhadap produk-produk asal Prancis dan mengecam Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dianggap menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW. - (ANTARA FOTO/Didik Suhartono)

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah menyerukan pemboikotan barang-barang Prancis, karena Presiden Prancis Emmanuel Macron berjanji setelah pembunuhan Paty untuk membela sekularisme melawan Islam radikal. Jelas jauh lebih mudah untuk menyerang demokrasi daripada melawan kediktatoran yang kejam  

Tapi semua ini tidak akan melindungi komunitas Muslim, apalagi mengakhiri terorisme Islam. Untuk itu, pemerintah harus mengadopsi pendekatan baru, berdasarkan pemahaman yang lebih baik tentang musuh yang mereka lawan.  

Ekstremisme Islam bukanlah sebuah organisasi atau tentara, itu adalah gerakan ideologis. Seperti yang diperlihatkan serangan baru-baru ini, keberadaan doktrin kekerasan yang jelas meniadakan kebutuhan untuk mengoordinasikan tindakan. 

Itulah mengapa menghilangkan tokoh-tokoh tingkat tinggi di ISIS atau Alqaeda tidak berbuat banyak untuk menghentikan pertumpahan darah. Ini juga alasan mengapa aksi militer saja akan selalu gagal.  

Sebaliknya, upaya kontra terorisme harus menargetkan sumber terorisme jihadis, teologi Wahabi yang militeristik, yang membenarkan dan memerintahkan penggunaan kekerasan terhadap apa yang disebut kafir. Ini berarti, pertama dan terutama, mendiskreditkan ideologi jahat itu, seperti yang dikatakan mantan Perdana Menteri Inggris Theresa May, dengan menyerang prinsip intinya.  

Ini juga berarti menjinakkan para ulama dan pengkhitbah jihad kekerasan lainnya. Seperti yang dijelaskan mendiang pemimpin Singapura Lee Kuan Yew, kita harus menargetkan “lebah ratu” (pengkhutbah kekerasan) yang menginspirasi “lebah pekerja” (penyerang bunuh diri), bukan lebah pekerja itu sendiri. Jika tidak, perang melawan teror akan terus berkecamuk dan Islamisme kekerasan akan semakin mengakar di masyarakat.  

 

Sumber: https://www.japantimes.co.jp/opinion/2020/12/02/commentary/world-commentary/islam-beheadings-religion/

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement