REPUBLIKA.CO.ID, Bagaimana sikap pengadilan dan publik Amerika Serikat menghadapi kasus hukum bernuansa syariah?
Di Amerika Serikat, aturan berbau syariah sering kali dikaitkan dengan produk hukum yang dibuat parlemen di tingkat negara bagian atau keputusan pengadilan dari tingkat pertama hingga kasasi.
Satu peristiwa penting yang menandai munculnya kontroversi seputar hukum syariah terjadi pada November 2012 di Oklahoma. Lebih dari 50 persen anggota parlemen Oklahoma menyetujui amendemen peraturan yang melarang pemberlakuan hukum syariah di wilayahnya.
Padahal, dalam konteks hukum Amerika Serikat, seorang hakim diberi kewenangan mengambil pertimbangan hukum dari "foreign laws" (hukum di luar tata hukum Amerika Serikat) jika hukum positif yang ada tidak atau kurang jelas mengatur sebuah perkara.
Dalam konteks ini, mayoritas legislator di Oklahoma yang dikuasai Partai Republik mengeluarkan aturan yang melarang hakim menggunakan 'hukum syariah' sebagai bahan pertimbangan. Alasannya, mereka tidak ingin apa yang terjadi di negara-negara Eropa juga terjadi di Amerika Serikat.
Di Inggris dan Prancis, syariah Islam biasanya dipakai sebagai rujukan menyelesaikan sengketa dan perselisihan di komunitas Muslim. Para legislator di Oklahoma tidak menginginkan hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat, khususnya di Oklahoma, sehingga mereka melancarkan "preemptive strike" (serangan pencegahan) terhadap kemungkinan penerapan syariah di tanah air mereka (Daily Mail, 2010).
Beberapa negara bagian lain mengikuti langkah Oklahoma, seperti Arizona, Kansas, Louisiana, South Dakota, Tennessee, dan North Carolina (Omar Sacirbey, Huffington Post, 2013). Komunitas Muslim yang diwakili Muneer Awad dari Council on American-Islamic Relations (CAIR) menggugat amendemen UU di Oklahoma ini.
Gugatannya didasarkan pada klausul amendemen yang menyebut hukum syariah sebagai hal yang tidak boleh dijadikan pertimbangan hukum. "The courts shall not look to the legal precepts of other nations or cultures. Specifically, the courts shall not consider international law or sharia law".
Bagi CAIR, yang diwakili Awad, bunyi teks amendemen ini mendiskriminasi komunitas Muslim. Bentuk diskriminasi atas suatu agama dianggap bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat, khususnya amendemen pertama yang menjamin kebebasan beragama (free exercise clause) dan netralitas negara terhadap agama (establishment clause).
Mendengar argumen Awad, pengadilan federal tingkat kasasi di Denver mengabulkan gugatannya. Walhasil, UU produk parlemen Oklahoma itu pun dibatalkan. Pertimbangan pertama, hak-hak Muneer Awad sebagai Muslim yang hidupnya berdasarkan panduan syariah, misalnya dalam hal menjalankan sholat dan kewajiban agama sehari-hari, membagi harta waris atau membuat wasiat, rentan untuk dilanggar jika UU yang diskriminatif itu diberlakukan.
Kedua, meskipun pendukung UU tersebut mengklaim tidak mendiskriminasi kaum Muslim, tapi penyebutan "syariah" di amendemen dianggap potensial melanggar hak komunitas Muslim.
Dengan pembatalan ini, hakim di pengadilan dapat menjadikan syariah sebagai bahan pertimbangan mengambil keputusan hukum. Salah satu kasus yang sering dijadikan rujukan adalah sengketa hak asuh anak yang disidangkan di pengadilan banding Maryland pada 1996.