REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Tiga serangan teroris baru-baru ini di Prancis disebut menunjukkan generasi baru ekstremis yang dilakukan oleh individu-individu yang diilhami oleh agama. Mereka beroperasi secara individu dan menggunakan senjata yang umumnya sederhana, yang membutuhkan sedikit keterampilan.
Di tengah debat terpolarisasi di Prancis yang mempertentangkan kebebasan beragama dengan sekularisme, masalah negara-negara Eropa dengan ekstremisme kembali menjadi sorotan. Atas hal ini, seorang pakar memperingatkan tentang potensi serangan di masa mendatang.
"Situasinya sangat berbahaya, kita berbicara tentang generasi baru ekstremis yang diwakili oleh individu-individu terisolasi yang merasa terputus dari nilai-nilai Prancis," kata Alain Marsaud, mantan jaksa penuntut Prancis dan mantan kepala unit pusat kontra-terorisme, dilansir di Al Arabiya, Selasa (17/11).
Marsaud mengatakan, bahwa kebijakan laicite (konsep masyarakat sekuler) yang diadopsi oleh pemerintah Prancis sebelumnya telah longgar dan membingungkan. Menurutnya, pemerintah Prancis tidak memiliki keberanian untuk menerapkan hukum secara tegas tentang pemisahan antara gereja dan negara.
"Kita harus memperkuat undang-undang saat ini. Sekarang, 60 persen pemuda Muslim di Prancis menempatkan hukum syariah di atas hukum Prancis, itu adalah kegagalan ajaran sekuler kami," kata Marsaud.
Serangan baru-baru ini di Prancis tersebut terjadi setelah majalah satir Prancis Charlie Hebdo menerbitkan ulang karikatur Nabi Muhammad SAW. Hal itu kemudian memunculkan kembali perdebatan tentang batas kebebasan berbicara dan berekspresi.
"Ketiga penyerang itu adalah individu yang diilhami secara religius, yang dipicu oleh karikatur atau pernyataan yang dibuat oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron setelah pemenggalan kepala Samuel Paty," kata jurnalis veteran Georges Malbrunot, yang juga seorang ahli dalam urusan Timur Tengah, kepada Al Arabiya English.
Malbrunot mengatakan, serangan-serangan ini berbeda dari serangan teroris sebelumnya yang terjadi di tanah Prancis pada periode 2015 yang dipimpin oleh individu yang sangat terorganisir, yang menggunakan senjata canggih dan diklaim oleh ISIS. Serangan itu juga berbeda dengan serangan di Wina, Austria, pekan lalu, yang juga diklaim oleh ISIS dan dilakukan oleh seorang warga negara Austria yang pernah divonis karena mencoba bergabung dengan organisasi ISIS di Suriah melalui Turki.
Menurut Malbrunot, semua penyerang tidak dikenal oleh dinas intelijen. Tak satu pun dari mereka memiliki hubungan nyata dengan kelompok teroris, meskipun salah satu dari mereka berhubungan dengan seorang ekstremis di Suriah.
"Ini sangat memperluas area kemungkinan radikalisasi terhadap orang-orang yang secara politik termasuk dalam 'wilayah abu-abu' seperti Ikhwanul Muslimin dan gerakan Islam lainnya yang beroperasi di Prancis, mengingat konteks Prancis saat ini," kata Malbrunot.
Sementara itu, Malbrunot meramalkan bahwa Prancis dapat menyaksikan serangan yang lebih terisolasi seperti ini di masa mendatang.
"Dengan tampil mengkritik Islam dan membela karikatur yang menyinggung Nabi, Macron menentang dirinya sendiri terhadap dunia Muslim," kata Malbrunot.