Senin 02 Nov 2020 23:10 WIB

Umat Islam di Prancis, Korban Stigmaisasi dan Sekularisme?

Prancis dinilai sebagai rumah yang tak lagi nyaman buat umat Islam

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Prancis dinilai sebagai rumah yang tak lagi nyaman buat umat Islam Seorang warga Muslim berjalan melewati tulisan penghinaan rasial yang dilukis di dinding masjid di kota Saint-Étienne di Prancis tengah.
Foto:

Meski Imam Masjid Ar-Rahma Nice, Otman Aissaoui, telah mengungkapkan kecaman dan kutukannya serangan tidak manusiawi tersebut. Namun serangan dan pembunuhan yang melibatkan Muslim semakin dan terus memperkeruh citra Islam dan membentuk distigmatisasi yang masif.

"Sekali lagi, kami distigmatisasi, dan orang-orang bergerak begitu cepat untuk 'menyimpulkan' semuanya," kata Aissaoui, mencerminkan ketidaknyamanannya yang mendalam dari perlakuan yang diterima Muslim Prancis.

"Muslim tidak bersalah atau tidak bertanggung jawab (atas kejadian ini)…. Kita tidak perlu mengubah diri kita sendiri,” kata Abdallah Zekri, seorang pejabat Muslim Dewan Perancis.

“Kehadiran Islam bukanlah sesuatu yang diramalkan oleh masyarakat Prancis,” kata Tareq Oubrou, seorang imam terkemuka di Bordeaux.

“Sekularisme selalu menjadi tabir asap… cara tersembunyi untuk menangani pertanyaan tentang Islam,” kata Benaissa.

Ketegangan Prancis-Muslim semakin meningkat setelah adanya revisi undang-undang sekularisme yang berisi larangan memakai jilbab dan penutup wajah (cadar, niqab, burqa, dan lain-lain) di ruang kelas dan tempat kerja.

Rim-Sarah Alouane, kandidat doktor di Universitas Toulouse Capitole, melakukan penelitian tentang kebebasan beragama dan kebebasan sipil. Dia menuliskan bahwa sejak 1990-an, laïcité, konsep masyarakat sekuler Prancis, telah dipersenjatai dan disalahgunakan sebagai alat politik untuk membatasi visibilitas simbol-simbol agama, terutama yang Muslim, katanya.

“Melalui sistem ini, seharusnya negara dapat memastikan untuk menghormati dan sepenuhnya merangkul keragamannya dan tidak menganggapnya sebagai ancaman,” katanya.

photo
Para perempuan bercadar di London Inggris memprotes larangan burqa di Prancis, Senin (11/4). - (AP)

Kemunculan Islam di Prancis tidak luput dari perhatian sayap kanan yang mengkambinghitamkannya sebagai ancaman bagi identitas Prancis. Muslim awalnya datang ke Prancis untuk bekerja. Pada 1970-an, imigran Muslim yang bekerja di pabrik mobil, konstruksi, dan beberapa sektor vital lain cukup memegang posisi penting bagi industri Prancis, sehingga banyak Muslim yang memutuskan untuk menetap dan menghapus keinginan untuk 'pulang', dan selama bertahun-tahun, masjid telah berkembang biak, begitu juga sekolah Muslim.

Olivier Roy, seorang ahli top, mengatakan kepada komite parlemen bahwa kebanyakan Muslim telah bekerja untuk berintegrasi ke dalam budaya Prancis. Mereka 'memformat' diri mereka sendiri agar sesuai dengan Prancis. Namun di sisi lain, mereka masih saja tidak mendapatkan  pengakuan.

Macron mengakui dalam pidatonya bahwa Prancis memikul tanggung jawab penuh untuk "ghettoisasi" Muslim di proyek perumahan, tetapi menegaskan bahwa undang-undang yang direncanakan bukanlah tentang menstigmatisasi Muslim. Namun stigmatisme adalah bagian dari kehidupan di Prancis bagi banyak orang, mulai dari dipilih oleh polisi untuk pemeriksaan ID hingga diskriminasi dalam pencarian pekerjaan.

Sumber: https://www.timesofisrael.com/stigmatized-by-attacks-french-muslims-feel-theyre-being-held-responsible/

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement