Senin 02 Nov 2020 05:20 WIB

Macron, Diskriminasi Hingga Sekularisme Prancis

Macron tetap membela adanya karikatur Nabi Muhammad.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti / Red: Ani Nursalikah
Macron, Diskriminasi hingga Sekularisme Prancis. Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Aliansi Umat Islam Sulsel berdoa saat melakukan aksi damai mengecam Presiden Prancis Emmanuel Marcon di depan Monumen Mandala, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (31/10/2020). Dalam aksi unjuk rasa tersebut mereka mengecam pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang diaanggap menghina Islam dan Nabi Muhammad.
Foto:

Sejarah

Prancis memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa Barat, lebih dari lima juta di negara berpenduduk 67 juta jiwa. Warisan dominasi kolonialnya berdiam di sebagian besar Afrika dan Timur Tengah.

Namun upaya negara itu untuk mengintegrasikan imigran Muslim tersendat. Doktrin resmi Prancis tentang kesetaraan dimaksudkan untuk mengabaikan latar belakang etnis dan agama dan agar semua warga negara Prancis dipandang sebagai orang Prancis yang setara. Pada kenyataannya, cita-cita tersebut sering kali memicu diskriminasi terhadap mereka yang berpenampilan, berpakaian atau berdoa berbeda dari mayoritas Katolik secara historis, alih-alih mencegahnya.

Muslim secara tidak proporsional terwakili di lingkungan termiskin, paling terasing di Prancis, serta penjara-penjara di Prancis. Itu telah melahirkan orang-orang buangan yang marah yang melihat tanah air mereka sebagai berdosa dan tidak menghormati tradisi Islam, atau hanya rasialis terhadap Arab dan imigran lain dari tanah yang pernah memperkaya kekaisaran Prancis.

photo
Imam Masjid Agung Paris berpidato pada sholat Jumat, sebelum membacakan puisi di akhir pidatonya, di Masjid Agung Paris, Prancis, 30 Oktober 2020. Imam Masjid Agung di Paris pernah membacakan puisi puisi untuk Republik dan Prancis selama sholat Jumat. - (EPA-EFE/MOHAMMED BADRAEPA)

 

Jejak Militer

Sementara serangan ekstremis baru-baru ini di Prancis dilakukan oleh mereka yang lahir di luar negeri, pemuda kelahiran Prancis berada di belakang banyak pertumpahan darah terburuk dalam beberapa tahun terakhir, banyak dari mereka terkait dengan kelompok ISIS. Prancis mempertahankan peran yang lebih aktif daripada Inggris di bekas koloni mereka, terutama melalui hubungan ekonomi dan budaya. Itu juga terlihat dalam cara Prancis mengerahkan pasukan ke luar negeri.

Pasukan Prancis melakukan intervensi dalam beberapa tahun terakhir melawan ekstremis di Mali dan Suriah, keduanya bekas kepemilikan Prancis. Ribuan tentara Prancis kini ditempatkan di bekas koloni di wilayah Sahel Afrika dengan misi yang sama. Kehadiran militer Prancis memicu seruan online rutin dari ISIS, Alqaidah, dan ekstremis lainnya untuk pembalasan di tanah Prancis, dengan harapan memaksa Prancis menarik pasukannya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement