REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA – Kolumnis Turki, Selcuk Turkyilmaz, menyampaikan histori antara Prancis, Turki, dan Islam melalui artikel yang dimuat di media Turki Yeni Safak, Senin (26/10).
Dia memulainya dengan menyinggung soal Prancis yang melarang jilbab pada 1989, langkah yang diambil untuk mengantarkan era baru di dunia Muslim.
Namun Prancis tidak bisa melihat gambaran besarnya saat itu. Apa yang diperlukan adalah mengevaluasi situasi dalam konteks penyatuan Jerman, runtuhnya Uni Soviet dan kemerdekaan dunia Turki, dan mengambil tindakan yang sesuai.
Kemerdekaan Bosnia Herzegovina, Kosovo, dan Makedonia selama periode yang sama merupakan pertanda transformasi politik dan regional paling signifikan bagi kami pasca-1918.
Dan Turki, memiliki area yang cukup luas untuk bermanuver di dalamnya meski melepaskan secara bertahap kebijakan isolasi dalam sistem bipolar global. Maka dengan mengumumkan larangan jilbab, itu telah membuka pintu ke era baru dunia Muslim.
Sebagian besar Prancis berpartisipasi dalam Perang Salib sehingga memungkinkan untuk membicarakan permusuhan historis terhadap Muslim. Sikap politik Prancis yang bermusuhan terhadap Muslim tidak pernah memudar.
Di saat yang sama, ada larangan jilbab di Turki dan larangan tersebut terperangkap dalam perdebatan rezim sehingga diskusi tentang sekularisme pun menonjol. Namun, perubahan global sedang terjadi dan Turki berada di pusat perubahan ini.
Ketika kita melihat ke belakang, kita dapat memahami mengapa dalang organisasi Fetullah (FETO) ingin secara terbuka menyatakan di pihak siapa dia berada. Sebelum larangan jilbab diberlakukan di Prancis pada 1989, Fetullah menyatakan tidak memiliki hubungan dengan gerakan Islam dan dia berada di pihak yang berlawanan.