Jumat 23 Oct 2020 05:07 WIB

Mengapa Iblis Enggan Bersujud kepada Adam?

Superior dan lupa diri tersebut, sejatinya telah membuka gerbang kedurhakaan.

Mengapa Iblis Enggan Bersujud kepada Adam?
Foto:

Selain pongah, iblis dan setan memiliki komitmen tinggi terhadap misinya: mengajak manusia durhaka. Kepongahan dengan komitmen yang tinggi merupakan kombinasi buruk dalam menciptakan kedurhakaan.

Tak hanya itu, seperti yang diungkapkan Quraish Shihab di bukunya, Yang Tersembunyi, setan sebagai makhluk yang tersembunyi. Dengan demikian, kita tidak mampu melihatnya, ketika mereka berdaya memperdayai. Tak mengherankan, makhluk gaib itu senantiasa mendampingi, bahkan, merasuk ke diri manusia. Rasul SAW telah mengingatkan, "Sesungguhnya setan mengalir dalam diri putra putri Adam sebagaimana mengalirnya darah" (HR Bukhari dan Muslim).

Bahkan, Allah pun berfirman: "Kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan dibelakang mereka." (QS Fushshilat [41]:25). Yang dimaksudkan "teman-teman" ialah Qariin yang mendampingi manusia sekaligus berusaha mempengaruhi. Manusia yang takwa pada-Nya belaka yang mustahil dipengaruhi Qariin.

Pongah, sombong, dan merasa memiliki kekuatan (kuasa) berlebih ---- yang terefleksikan dari asal pembuatannya yaitu api ---- menjadi citra setan. Bila citra demikian milik setan, bagaimana pula dengan manusia? Di dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap bersua dengan manusia yang berkarakter demikian. Merasa diri super karena kekayaan, kekuasaan ataupun kepintaran, menyebabkan ada saja orang yang congkak. Mereka memandang hina terhadap individu lain. Bahkan, superior yang dimiliki, menyebabkan mereka merasa agung ketika menginjak hak asasi individu lain.

Kecongkakan dan merasa sangat superior seringkali menyebabkan seseorang lupa diri. Seperti iblis yang merasa dirinya super karena tercipta dari api, manusia superior dan lupa diri tersebut, sejatinya telah membuka gerbang kedurhakaan. Bukankah kesombongan dan merasa super merupakan jalan setan untuk menyesatkan?

Tak mengherankan, bagi para pejalan rohani, kesombongan menjadi momok yang menakutkan dalam perjalanan menghampiri-Nya. Tak jarang, ada di antara mereka yang berada di jalan spiritual tersebut, tersesat: merasa dirinya agung karena laku peribadatannya. Tanda hitam di kening, misalnya, menjadi kebanggaan untuk menunjukkan betapa lama bersujud kepada-Nya. Begitupun berapi-api menceramahi orang lain, bahkan hingga mengancam-ancam orang lain terhadap neraka, karena merasa diri suci.

Betapapun setan akan lebih keras berusaha menggoda pejalan rohani. Seperti iblis yang merasa dirinya agung, setan pun mencoba menanamkan perasaan diri lebih agung, ke bilik pejalan ruhani. Tak jarang, godaan tersebut demikian halus: terbitnya perasaan bahwa amalannya lebih bagus dibandingkan orang lain (bukankah sejatinya kebagusan amalan justru pada kerutinan mengamalkannya dengan ikhlas).

Godaan pun tidak sekadar berbentuk "serangan langsung" mahluk gaib tersebut. Tapi, seperti yang dikisahkan Quraish Shihab di buku Yang Tersembunyi, godaan dapat datang dari "setan berwujud manusia". Pengagungan yang berlebihan para santri terhadap sang guru, sehingga melahirkan kultus individu, sejatinya merupakan bentuk godaan setan berwujud manusia. Tak mengherankan, seperti yang diriwayatkan ulama, sifat riya' (sombong dan ingin dipuji) ini, bagaikan syirik kecil. Bukankah syirik, mempersekutukan Allah, merupakan dosa yang tidak dibukakan pintu ampunan? Besarnya ancaman hukum bagi kesombongan sehingga diandaikan mempersekutukan Allah, karena sombong merupakan gerbang menuju merasa diri lebih (berkuasa) ketika yang maha kuasa hanya Allah.

Agar tidak tersesat dalam jalan menghampiri-Nya, para pejalan rohani senantiasa berpuasa (tidak sekadar dalam pengertian fisik), untuk melatih mengekang hawa nafsu. Puasa dalam pengertian spiritual merupakan jalan untuk mencapai hidup zuhud dan qana'ah.

 

Rasulullah SAW pun memuji-muji mereka yang hidup qana'ah. Bukankah mereka yang berhasil mencapai sekaligus memelihara kehidupan yang zuhud dan qana'ah, menjadi pribadi yang rendah hati dan arif. Dan muara kehidupan demikian ialah tumbuhnya jiwa yang tenang (muthma'innah) karena menyerahkan kehidupannya sepenuhnya kepada Allah (tawakkal). Betapa indahnya, sekiranya kita mampu mengikis kecongkakan di hati dan menggantikannya dengan jiwa yang tenang. Bukankah kehidupan dan jiwa yang tenang (muthma'innah) bagaikan telah berada di surga ketika di dunia?

sumber : Arsip Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement