REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Besarnya pengaruh pesantren dan santri dalam memperjuangkan NKRI tak bisa dipungkiri. Terlebih, ketika para tokoh atau pahlawan nasional, perjuangan, revolusi dan lainnya juga banyak yang berasal dari kalangan santri.
Di lingkungan pesantren itu, para santri yang kemudian dikenal bangsa sebagai pahlawan, memupuk sikap dan nilai perjuangannya atas penjajahan dari berbagai guru. Karenanya, di Hari Santri Nasional 22 Oktober ini, perlu dikenang kembali beberapa tokoh dari kalangan pesantren yang menjadi pahlawan.
1. KH Hasyim Asy’ari
Lahir di Jombang, Jawa Timur, KH Hasyim Asy’ari berasal dari latar belakang keluarga yang syarat akan nilai-nilai keislaman. Sejak kecil, bersama saudaranya, anak ketiga dari sepuluh bersaudara itu juga mendapat pemahaman agama dari kedua orang tuanya, KH. Asy’ari dan Ibunya, Halimah.
Tak hanya itu, dalam buku Biografi KH Hasyim oleh Lathful Khuluk, KH Hasyim Asy’ari juga mendapat pengajaran dari pesantren kakeknya, ‘Pesantren Gedong’. Meskipun, saat usianya menginjak 15 tahun, ia memutuskan untuk hijrah ke pondok pesantren di Sidoarjo, Jawa timur, selama kurang lebih enam tahun.
Tak hanya memperdalam ilmu agama, di pesantren itu ia juga mendapatkan jodohnya yang merupakan putri dari seorang kiai. Melalui perjodohan, keduanya memutuskan menikah. Namun, selepas menikah dan pergi ke Makkah, KH Hasyim Asyari harus menelan pil pahit kehilangan istrinya selepas melahirkan.
Kembali ke Indonesia, dirinya kemudian memutuskan kembali ke Makkah bersama sang adik, walaupun, adiknya juga meninggal di Makkah. Meski demikian, KH Hasyim Asy’ari tetap menuntut ilmu dan memutuskan tinggal di sana, sembari ikut mengajar selama lebih kurang tujuh tahun, sebelum akhirnya kembali ke Indonesia dan mendirikan pesantren Tebu Ireng. Waktu beranjak, dirinya juga mendirikan Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi terbesar di Indonesia saat ini.
Perlu diketahui, perjuangan KH Hasyim Asy’ari tak hanya terbatas pada pendidikan. Dirinya juga menyerukan santri, pemuda dan golongan masyarakat untuk berjuang melawan penjajahan. Seruan itu, dikenal sebagai ‘Resolusi Jihad Fii Sabilillah’ yang terjadi tepat 75 tahun yang lalu, atau 22 Oktober 1945. Hari yang kini diputuskan pemerintah sebagai Hari Santri Nasional. Dalam revolusi itu, perjuangan pribumi semakin tangguh melawan kolonialisme. Puncaknya, terjadi pada 10 November 1945.