REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Duta Besar Republik Indonesia (RI) di Beirut untuk Republik Lebanon, Hajriyanto Y. Thohari didapuk memberikan orasi ilmiah dalam gelaran Wisuda ke-97 Periode III Tahun 2020 Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Rabu (21/10). Di orasinya, Hajriyanto memaparkan pandangan Mohammad Hatta tentang ilmu, agama dan pendidikan tinggi islam.
Menurut Hajriyanto, Hatta memandang agama memerlukan sikap yang tepat dalam menghadapi persoalan di masyarakat. Diperlukan pendidikan tinggi yang bisa diperoleh dari sekolah tinggi Islam. Dengan demikian, belajar ilmu di sekolah tinggi Islam seharusnya bisa berbeda dengan sekolah tinggi lainnya.
Belajar di sekolah tinggi Islam tidak semata-mata untuk mempelajari ilmu. Sebab, berbagai ilmu yang diajarkan sesungguhnya dapat pula dipelajari pada sekolah tinggi atau universitas yang lain. Belajar ilmu di universitas Islam berarti harus menetapkan kemauan untuk mempelajari ilmu pengetahuan di atas dasar pandangan hidup Islam.
"Apakah dengan demikian berarti Islam itu ilmu? Hatta dengan tegas menjawab bahwa Islam bukan ilmu. Islam adalah agama. Islam sebagai agama, pemikirannya tidak dapat memberikan isi kepada ilmu. Sumbangan Islam kepada ilmu terdapat pada anjurannya kepada para penganutnya untuk mempelajari ilmu sebanyak-banyaknya, di mana saja dan dari siapa saja,” ungkap Hajriyanto dalam pesan rilis yang diterima Republika.
Selanjutnya, kata Hajriyanto, Hatta mengajukan beberapa bahan renungan bagi siapapun yang terlibat dalam sekolah tinggi Islam atau universitas Islam. Umat Islam harus menuntut kemuliaan hidup dan ketinggian derajat sehingga perlu belajar ilmu pengetahuan. Umat Islam dianjurkan untuk menuntut ilmu di segala tempat serta menjemputnya dari segala lidah.
"Di tempat di mana orang menuntut ilmu bagi orang Islam, di tempat mana orang menuntut ilmu bagi Hatta tidaklah menjadi soal. Yang penting adalah hikmat dan kepandaiannya," ucapnya.
Dalam pengamatan Hatta, sejarah telah cukup membuktikan Islam telah mampu menjadi pendorong pengembangan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan pada masa lalu telah berupaya untuk menghidupkan lagi ilmu-ilmu Yunani yang telah terpendam di abad pertengahan dan kemudian menyebarkannya ke Eropa melalui Asia Kecil dan Spanyol. Sisa-sisa kebesaran kultur Islam di Spanyol masih tetap kelihatan nyata sampai sekarang.
Kalau tidak karena Islam, kata Hajriyanto, tidak mungkin bangsa Arab yang terbelakang dalam segala aspek kehidupannya berhasil menjadi pemangku dan penyebar ilmu. Itu semua harus direnungkan terutama oleh mereka yang terlibat dalam sekolah tinggi Islam atau universitas Islam. Demikian juga mereka yang belajar di unit universitas Islam.
Pada pandangan Hatta, sekolah tinggi Islam atau universitas Islam harus memiliki spesifikasi dalam hal ilmu dan masalah yang dikaji dan dipelajarinya. "Apabila yang diajarkan dan dikaji didalamnya adalah itu saja dengannya dikaji dan dipelajari di perguruan tinggi yang lainnya (non-Islam), maka adanya sekolah tinggi Islam atau universitas Islam tersebut kurang berarti sama sekali," jelasnya.
Menurut Hajriyanto, Hatta telah menganjurkan perguruan tinggi Islam dapat mengajarkan pandangan secara luas. Dalam hal ini, terkait bagaimana pandangan Islam tentang masyarakat, ekonomi, hukum, keadilan dan sebagainya.
Tidak cukup sampai di sini, Hatta juga mengajukan konsep yang operasional lagi untuk perguruan tinggi Islam. Kampus harus bisa menunjang terciptanya kekhususan sekolah tinggi Islam dan universitas Islam sehingga perlu disiapkan guru atau pengajarnya sendiri. "Kata Hatta, jangan sampai guru-gurunya diambilkan dari sekolah tinggi yang lain,” jelas Hajriyanto.