REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Jika melirik ke dekade 1950-an, masyarakat pedesaan umumnya sangat terikat kuat dengan tradisi dan budaya mengaji. Kenangan indah di masa lalu dalam menjalankan syiar agama pun masih membekas di benak dan hati umat Muslim.
Dalam buku Muslim Kota karya Ustaz Ahmad Sarwat dijelaskan, pemandangan anak-anak di desa yang setiap hari berjalan menuju masjid, rumah guru-guru ngaji, atau mushala kerap menjadi pemandangan yang sangat fenomenal. Banyak anak laki menginap di masjid untuk mempelajari Alquran dan tak sedikit pula dari mereka yang mengkaji kitab-kitab para ulama hingga menghatamkan kitab Al-Barzanji.
Di desa di zaman dahulu, selalu ada guru-guru ngaji yang secara ikhlas dan tulus mengajarkan ilmu membaca dan menulis Alquran serta ilmu keagamaan. Dengan tekun para guru itu menyisihkan waktunya demi menanamkan jiwa keagamaan di desa sedari masyarakatnya masih menginjak usia dini.
Jika ditelisik dari sisi kemampuan finansial, para guru ngaji di desa umumnya tidak dibayar. Semua aktivitas mengajarkan mengaji mereka lakukan dengan semangat pengabdian dan panggilan jiwa. Jika pun ada pemberian finansial kepada mereka, hal itu pun hanya berbentuk sederhana.
Dari pengabdian yang luar biasa ini, tradisi mengaji menjadi kuat mengakar di desa-desa. Tak sedikit pula masyarakatnya dapat melantunkan ayat-ayat Alquran dengan fasih, melantunkan syair-syair pujian, hingga tak sedikit pula yang mahir berbahasa Arab meski aksara Arabnya sama sekali tidak disertai dengan harakat.
Imas Damayanti