Jumat 16 Oct 2020 08:32 WIB

Kisah Mantan Biduan Menjemput Hidayah di Pesantren

Sebelum ajal datang, Nenek Tukiyem bertaubat dan belajar agama sungguh-sungguh.

Nenek Tukiyem saat belajar Qiroati Alquran.
Foto: Dokumentasi Pesantren Kasepuhan Raden Rahmat
Nenek Tukiyem saat belajar Qiroati Alquran.

Nenek Tukiyem tertegun. Mulutnya bergerak-gerak seperti mengecap sesuatu. Ia pun mulai bercerita pengalaman hidupnya.

“Aku ini perempuan pendosa. Aku kira Allah telah menghukumku. Selama hidup aku tak pernah mengenal shalat, puasa, mengaji. Tak mengerti Islam meskipun Islam tercantum dalam KTP-ku. Masa mudaku habis untuk mencari uang dan kenikmatan. Hingga suami pertamaku pun kutinggalkan demi impian hidup bahagia bersama lelaki yang umurnya sepuluh tahun di bawahku. Tetapi dalam lima tahun, kekayaanku berpindah ke tangannya tanpa sisa. Dan ia pun pergi tanpa meninggalkan apa pun bahkan seorang anak."

“Tapi di usia 45 tahun aku masih seperti gadis 30 tahun. Masih cukup memikat buat lelaki hidung belang. Hingga aku pun menikah dengan seorang tuan tanah sesudah perceraiannya yang penuh sengketa dengan istri pertamanya. Aku berharap darinya akan lahir keturunan yang bakal melindungiku di hari tua."

"Tapi sepertinya Allah sudah mengazabku. Dua puluh tiga tahun kami hidup bersama dalam pertengkaran dan perselingkuhan. Tapi aku tetap bertahan karena sudah tidak ada lagi tempat buat menyandarkan hidup. Suaraku sudah tidak laku, digantikan biduan-biduan muda yang lebih molek. Hingga suami ketigaku pun meninggal. Selesailah takdirku. Sudah kuduga pembalasan dendam anak-anak suamiku atas sakit hati ibunya pada bakal menimpaku.”

Winarno berkata, Nenek Tukiyem menceritakan semua itu secara lancar seperti seorang aktor panggung yang hafal seluruh dialog skrip dalam sebuah sandiwara. Dan kini drama kehidupannya telah menjelang episode terakhir. Ia sudah lelah memainkan sandiwara kehidupan yang dijalaninya selama 80 tahun ini.

Dada Nenek Tukiyem terasa lapang sesudah melontarkan semua beban batin yang selama ini ditanggungnya sendiri. “Apakah Allah masih mau menerimaku?” tanyanya kemudian seperti kepada diri sendiri.

“Selama Mbah Tukiyem masih bernafas, pintu ampunan Allah masih terbuka lebar,” jawab Winarno singkat.

Perempuan rapuh itu tampak tertunduk, tapi tidak menangis. Kerasnya hidup telah mengeringkan air matanya.

"Subhanallah, sungguh luar biasa cara Allah mematangkan jiwa hambanya. Ternyata, diawal kedatangan beliau begitu sangat menguras tenaga fikiran bahkan emosi para pengasuh serta teman-teman seasrama. Ternyata latar belakang beliau yang baru saja diutarakannya dan sudah ingin taubat nashuha tidak serta merta membuat hatinya langsung luluh namun masih terlihat sedikit arogan," kata Winarno.

"Jadi ingat kalimat Umar bin Khattab, "Terkadang dengan masa lalu paling kelam, akan menciptakan masa depan yang paling cerah."

"Kalimat itulah yang menjadi virus penyemangat kami para pendamping dan pembimbing Mbah Tukiyem. Dengan mengharap keistiqomahan kami dan hidayah untuk Mbah Tukiyem, kami larut dalam huruf-huruf hijaiyah pagi siang bahkan larut malam. Kami berharap dari sekian banyak huruf yang pernah kami baca bersama kelak akan menjadi asbab rahmat Allah, di saat tidak ada satu pun amal kami yang bisa menolong kecuali huruf-huruf hijaiyah yang kami baca bersama para lansia."

Winarno mengungkapkan, Nenek Tukiyem tinggal menyelesaikan satu jilid lagi paket Qiroati sebelum melanjutkan ke tahap membaca Alquran. Nenek Tukiyem yang awal kedatangan terlihat arogan kini sangat bijaksana. Bahkan, kata Winarno, dia gantian menasihati para pengurus.

"Di saat Nenek Tukiyem dulu jauh dari yang namanya ibadah, kini beliau tak pernah telat tahajud, doa pagi, mengaji pagi, Sholat Dhuha dan juga puasa sunah. Di saat dulu Mbah Tukiyem yang sering menghiba meminta minta kini dia rajin sedekah dari uang yang ia terima dari para dermawan, kami dikagetkan dengan kepergian Nenek Tukiyem untuk menghadap Allah Subhanahuwata'ala kembali ke alam keabadian."

Winarno merawikan, 8 Oktober 2020 pagi, Ustadz Ikhsan agak heran, biasanya Nenek Tukiyem paling pertama setoran bacaan dan biasanya akan melanjutkan menyapu halaman pondok. Namun ditunggu sampai semua santri sudah setoran bacaan hafalan dan bacaan ternyata nenek perindu surga ini belum juga tiba.

photo
Kegiatan rutin Nenek Tukiyem usai belajar mengaji adalah menyapu pesantren. - (Dokumentasi Pesantren Kasepuhan Raden Rahmat)

Kemudian, Pak Tomy salah satu santri berinisiatif mengetok kamar dan memanggil Nenek Tukiyem. Karena tidak kunjung ada jawaban, Pak Tomy melongok melalui celah pintu dan terlihat sedang meringkuk di pinggir tempat tidurnya, kemudian meminta bantuan salah satu santri putri untuk membangunkannya dikiranya kesiangan. Innalillahi wa innailaihi rojiun, pada 8 Oktober 2020 pagi itu ternyata Nenek Tukiyem sudah dipanggil sang pemilik setiap jiwa, Allah Subhanahuwata'ala.

"Duka campur bahagia, duka karena kehilangan sosok yang luar biasa, bahagia karena kami telah menjadi bagian ia menjemput hidayah. Bismillah, insya Allah beliau Husnul Khotimah, Kami menjadi saksinya."

"Allahummaghfirlahaa warhamhaa wa 'aafihaa wa'fu 'anhaa, wa akrim nuzuulahaa wawassi' mad kholahaa, waghsilhaa bil maai wats salji wal barodi, wa naqqihaa, minadz dzunubi wal khothooyaa kamaa naqqoits tsaubal abyadhu minad danas. Wabdilha daarool khoiron min daarihaa wa ahlan khoiron min ahlihaa wa zaujan khoiron min zaujihaa, wa adkhilhal jannata wa a’idzhaa min adzabil qobrii au min 'adzaa binnaar....aamiin..."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement