REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Islam menjadi agama minoritas di Uruguay. Merujuk data Pew Research Center, pada 2010 jumlah Muslimin di negeri tersebut mencapai 10 ribu jiwa atau sekitar 0,3 persen dari keseluruhan penduduk. Tak sedikit dari mereka yang merupakan keturunan bangsa-bangsa luar, seperti Arab atau Moor.
Karena kebebasan dijamin undang-undang dasar, kehidupan religi di sana cenderung tanpa masalah yang berarti. Mayoritas penduduk Uruguay memeluk agama Katolik dan Kristen Protestan. Pew Research Center juga menemukan, jumlah warga yang tak terafiliasi agama apapun cukup banyak, sekitar 1,3 juta orang atau nyaris mendekati jumlah pemeluk Nasrani (1,9 juta orang) pada 2010. Bagaimanapun, penghargaan terhadap agama tak kurang besarnya dalam konstitusi setempat.
Nyaris tak terdengar kabar adanya konflik antarumat beragama di Uruguay. Fasilitas umum untuk beribadah pun relatif mudah ditemukan. Di Montevideo, ibu kota Uruguay, ada tiga masjid dan satu mushala, yakni Centro Islamico Egipcio de Cultura dan Centro Islamico del Uruguay serta al-Musallah al-Haazimi.
Bangunan yang disebut terakhir itu tampak sebagai ruangan sederhana yang menempel pada suatu kawasan hunian. Berlainan halnya dengan dua masjid yang lebih representatif dalam memfasilitasi Muslimin. Centro Islamico Egipcio de Cultura atau Pusat Kebudayaan Islam Mesir berdiri di Montevideo sejak 25 April 2008.
Tampak dari namanya, lembaga ini disokong Pemerintah Mesir melalui kedutaan besarnya untuk Uruguay. Inilah masjid pertama di negara tersebut. Keberadaannya sekaligus menandai tonggak hubungan diplomasi kebudayaan antara kedua negara lintas benua itu.
Sementara, Centro Islamico del Uruguay atau Pusat Keislaman Uruguay berlokasi hanya tiga kilometer (km) dari masjid yang pertama. Bangunannya cukup sederhana. Bentuknya tidak menunjukkan ciri-ciri masjid pada umumnya. Tak tampak adanya kubah atau menara. Wujudnya cenderung seperti rumah warga biasa, hanya lebih luas.
Masjid Pusat Keislaman Uruguay berfungsi tidak hanya sebagai tempat ibadah bagi kaum Muslimin, tetapi juga sentra kehidupan sosial. Pihak pengelola acapkali meng gelar acara kebudayaan di sana yang bertujuan memperkenalkan khazanah kebudayaan Islam. Beberapa kegiatan lainnya juga diadakan khusus bagi kaum imigran Muslim yang ingin mempertahankan hubungan dengan budaya leluhur mereka. Momen itu, bagaimanapun, tetap terbuka bagi warga kelahiran asli, terutama yang telah masuk Islam.
Seperti halnya umat Islam pada umumnya, kaum Muslimin di Uruguay juga menghadapi tantangan pascaperistiwa 9/11. Mariana Achugar dalam The Events and Actors of 11 September 2001 As Seen from Uruguay: Analysis of Daily Newspaper Editorials memotret diskursus Islam di negara se tempat. Pada faktanya, Islamofobia juga sempat mengemuka di Uruguay setelah serangan yang dilancarkan kelompok teroris atas Menara Kembar World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat (AS).
Menurut Achugar, tak sedikit media nasional Uruguay yang membingkai (framming) pemberitaan tentang 9/11 sembari mengeksklusi Islam dan pemeluknya. Produk jurnalistik mereka cenderung memosisikan Islam sebagai sesuatu yang patut diwaspadai oleh khalayak pembaca. Akan tetapi, ada pula koran-koran yang tidak ikut-ikutan framming demikian.
Achugar menyebutkan El Pais sebagai salah satu contohnya. Media cetak itu menarasikan peristiwa 9/11 secara cukup ber imbang. Komentar-komentar tentang tragedi tersebut bukan hanya berasal dari tokohtokoh politikus atau pakar hubungan in ternasional, melainkan juga figur-figur Muslim. Dengan demikian, pembaca akan men dapatkan gambaran, kelompok ekstremis hanya lah segelintir dari umat Islam yang menolak kekerasan. Tidak mungkin terorisme dipandang sebagai perintah agama tertentu.
Untungnya, berbagai narasi yang menyudutkan Islam tak sampai menyulut aksi perundungan, apalagi kekerasan, terhadap Muslimin di Uruguay. Pemerintah setempat memastikan negara hadir untuk melindungi segenap warganya tanpa pandang identitas agama. Insiden 9/11 menjadi pembelajaran bersama sekaligus ujian untuk terus menjaga kemajemukan sebagai suatu bangsa yang berdaulat.
Tak hanya itu, warga yang beragama Islam juga diperkenankan untuk men can tumkan agamanya pada kartu identitas. Pekerja Muslim dapat diterima dengan baik tanpa mengalami kesukaran yang signifikan dalam menjalani tugasnya sehari-hari. Bahkan, banyak kantor yang memberi keluangan bagi karyawan Muslimnya untuk melaksanakan sholat Jumat.